Telaah Takwil bi al-Isyarah


Makalah ini telah dipresentesaikan pada kelas Kaidah Tafsir, Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Pascasarjana IAIN Kediri. Untuk mendapatkan filenya silahkan klik

Pendahuluan

Proses memahami Al-Qur’an telah terjadi sejak masa Nabi hingga sekarang ini. Proses pemahman yang berkelanjutan ini, bukan menunjukkan Al-Qur’an tidak dapat dipahami, ataupun bahwa masyarakat Islam tidak mampu memahami Al-Qur’an. Namun, sebagaimana pernyataan Abdullah Darraz, Al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.[1]

Proses memahami Al-Qur’an, pada umumnya merujuk kepada istilah tafsir, yang mana pada perkembanganya istilah ini mempunyai dua metode, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yu. Pada catatan sejarah, dikenal juga istilah takwil, sebagaimana doa Nabi Saw., kepada Ibnu Abbas, اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ. Sebagian ulama, mengkaitkan istilah takwil dengan konsep ayat mutasyabihat, sebagaimana menafsirkan QS. Ali-Imran ayat 7.

Para ulama setelah abad ke-3 H, memiliki dua pandangan berbeda terhadap penggunaan takwil. Pandangan pertama sangat ketat dalam penggunaannya dan hampir tidak pernah menggunankanya. Mereka beranggapan bahwa tidak ada celah untuk menampilkan sesuatu yang baru atau berbeda dari para pendahulu, seluruh makna al-Qur’an telah dijelaskan oleh para pendahulu. Pandangan yang kedua sangat longgar penggunaanya, sehingga mengaggap bahwa Al-Qur’an terbuka seluruhnya untuk ditakwilkan. Setiap orang berwenang untuk melakukan ta’wil, meskipun tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an atau prinsip-prinsip pentakwilan.[2]

Instrument yang digunakan dalam penafsiran, umumnya merujuk kepada naql dan aql. Namun, terdapat satu instrument lagi yang dikenal yaitu isyarah atau intuisi. Pada instrument ini, terdapat sebuah klaim, bahwa pemahaman yang didapatkan merupakan pemberian langsung dari Allah. Hal ini tentu menjadikan para ulama tafsir berbeda pandangan dalam menanggapinya, sebagaimana perdebatan terhadap tafsir bi al-ra’yu. Pada sisi lain, ketidakpuasan atas ibadah lahiriyah, dapat diisi dengan pemahaman yang berasal dari para pelaku tasawuf, atas penakwilannya terhadap Al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut, penyusun akan memberikan gambaran tentang takwil bil isyarah, dengan harapan dapat memasukkan tafsir tersebut dalam penakwilan yang selamat atau tercela.

Takwil dan Tafsir

Takwil ( تأوويل ) bersal dar bahasa Arab, diambil dari kata aul ( اول ) yang bermakna kembali dan kesudahan atau akibat. Para ulama salaf mengartikan takwil dengan dua pengertian, pertama, kalam tersebut kembali kepada makna hakiki yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud pembicara, kedua, dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Sedangkan dalm tradisi muta’akhirin, menakwilkan berarti memalingkan makna lafad yang kuat kepada makna yang lemah karena ada dalil yang menyertainya. [3] Sedikit berbeda dengan pengertian tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa menakwilkan berarti menjadikannya berbeda dari semula, takwil adalah mengembalikan makna kata/kalimat ke arah yang bukan arah makna harfiahnya yang dikenal secara umum.[4]

Proses pentakwilan terjadi dalam dua tahap, pertama, pengembalian ke dalam benak untuk mengetahui maknanya yang popular. Kedua, makna yang tergambar pada benak dikembalikan lagi ke makna lain, sehingga makna kedua bersumber dari makna pertama. Kalimat “dia duduk di kursi yang basah”, menggambarkan dalam benak, seseorang yang sedanng duduk dalam tempat yang terkena air. Namun karena adanya indikator yang menghalangi pengertian tersebut, maka akan dimaknai kembali dengan memahaminya sebagai “berada dalam satu jabatan yang menyenangkan”. Terdapat juga yang memahami “pengembalian” itu dalam arti pembicara sebenarnya sejak semula telah bermaksud dengan ucapannya dengan makna tertentu. Maka dengan menakwilkan akan mengembalikan makna kata ke dalam makna yang dimaksud pembicara. Takwil dalam hal ini dipahami juga sebagai, “mengungkap makna yang tersembunyi”.[5]

Penggalian makna dengan meninggalkan takwil terhadap sebuah ayat al-Qur’an, meskipun telah jelas makna kosakatanya, terkadang mengalami kekaburan. Makna yang lahir dari proses tersebut kadangkala bertentangan dengan akidah maupun logika yang benar. Menyingkapi hal tersebut, terdapat dua jalan yang dapat ditempuh,

  1. Menakwilkannya, karena jika tidak ditakwilkan, penafsir akan berpotensi besar melakukan kekeliruan dalam memberikan makna, bahkan menyimpang dari makna yang sebenarnya.
  2. Tidak membahasnya sama sekali, dengan menyerahkan kepada Allah tentang makna yang terkait. Sebagaimana jawaban Imam Malik, terhadap makna QS. At-Thaha: 5.

Mengomentari kedua sikap tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa sikap yang kedua tidak akan memuaskan nalar, sehingga para ulama pada akhirnya merestui penggunaan takwil dengan menggarisbawahi syarat-syarat penggunaanya. Kemudian menukil definisi yang dikeluarkan oleh Abu al-Qasi bin Habi an-Naisabury, takwil adalah mengalihkan makna ayat ke makna yang sesuai dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya, yakni makna yang dapat ditampung olehnya, tanpa bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, pengalihan itu berdasar istinbath. Seorang penakwil tidak saja dituntut menguasai tafsir, tetapi juga istinbath. Penakwilan tanpa menguasai syarat-syaratnya, misalnya penguasaan ilmu bahasa, akan digiring oleh kedangkalan pengetahuaannya atau subyektivitasnya dalam mengalihkan makna ayat sesuai dengan prakonsepsinya.[6]

Para ulama ada yang mempersamakan tafsir dan takwil, ada juga yang membedakannya. Dinyatakan bahwa tafsir berkaitan dengan lafad/kosakata, sedang takwil berkaitan dengan kalimat/susunan. Tafsir berkaitan dengan riwayat, sedang takwil dengan dirayat, yakni pengetahuan, nalar dan analisis. Tafsir adalah mendengar dan mengikuti, sedang takwil adalah ber-istinbath, menggunakan nalar untuk mencapai kesimpulan.[7]

Pengertian mengenai takwil, seperti dipaparkan, mengalami perkembangan dan perbedaan. Setidaknya ada tiga pengertian yang bisa kami sederhanakan, yaitu,

  1. Takwil adalah tafsir, dalam hal ini takwil adalah tafsir bi al-ra’yu
  2. Takwil adalah makna esensi, subtansi makna, pengembalian makna kepada maksud pengucap atau penulis
  3. Takwil adalah pemalingan makna dari makna kuat atau popular kepada makna yang lemah atau tidak popular
  4. Anwar Syarifuddin, memberikan pandangan tentang adanya penyempitan ruang gerak terhadap takwil dengan standarisasi. Tafsir adalah formal dan terpuji, sedangkan takwil adalah tidak formal dan tercela. Hal ini pada dasarnya adalah merujuk kepada peranan aql dalam menafsirkan, terdapat kecenderungan untuk mengkultuskan tafsir yang bersandar kepada naql dan merendahhkan takwil yang bersandar pada aql.[8]

Nasr Hamid memberikan pandangan yang serupa, dengan memaralelkan kepada wacana politik praktis. Takwil dalam pemikiran agama resmi, doktirn islam yang diakui, telah berubah menjadi istilah yang dibenci demi istilah tafsir. Pemikiran pihak oposisi dicap sebagi takwil, sedangkan penakwilan yang dilakukan oleh pemikiran resmi disebut sebagai tafsir, bertujuan untuk menyematkan objektivitas dan kebenaran mutlak terhadap takwil tersebut.[9]

Takwil dan Majaz

Bahasa Arab, yang merupakan bahasa Al-Qur’an, sebagaimana bahasa lain mengenal penggunaan majazi dalam kesehariannya. Pengertian majaz, dapat dirumuskan dalam beberapa definisi[10],

  1. Lafad itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya, sebagaimana dikehendaki suatu bahasa.
  2. Lafad dengan bukan menuruti arti yang sebenarnya itu dipinjam, untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud.
  3. Antara sasaran dari arti lafad yang digunakan dengan sasaran yang dipinjamkan dari arti lafad, memiliki keterkaitan.

Pendefinisian tersebut memuat kaidah-kaidah yang dilakukan dalam menentukan makna majazi. Pengungkapan makna majaz harus melalui tanda-tanda/dalil-dalil yang terdapat dalam teks maupun konteks, yang biasa dikenal dengan istilah qorinah. Selain itu, dalam pemilihan makna majazi, diharuskan juga terdapat ‘alaqah/keterkaitan antara makna hakiki dan makna majazi.

Para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang adanya makna majazi dalam Al-Qur’an. Setidaknya terdapat empat pandangan berbeda[11],

  1. Pandangan yang menolak adanya majaz secara mutlak dalam Al-Qur’an
  2. Pandangan yang menyatakan adanya majaz dalam Al-Qur’an, namun menolak adanya majaz dengan hal-hal yang berkaitan dengan sifat Allah
  3. Pandangan yang menyatakan adanya majaz dalam Al-Qur’an, baik berkaitan dengan sifat Allah maupun tidak
  4. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap ibarah/idiom dalam bahasa adalah majazi, bukan hakiki

Pembagian di atas, sejalan dengan pembagian yang dirumuskan oleh beberapa ulama kontemporer, namun dalam pandangan ini terdapat tiga kecenderungan,[12]

  1. Kecenderungan Mu’tazilah, yang menggunakan majaz secara dogmatis ajaranya. Kelompok ini berpandangan bahwa bahasa merupakan kuasa manusia.
  2. Kecenderungan Dhahiriyah, yang menolak keberadaan majaz. Bagi kelompok ini, bahasa adalah pemberian Allah kepada manusia, hal-hal yang tidak jelas dalam Al-Qur’an hanya Allah yang mengetahui.
  3. Kecenderungan Asyariyah, yang memposisikan diri secara moderat di antara kelompok yang berlebih-lebihan menggunakan majaz dan yang menolak majaz. Menurut kelompok ini, bahasa merupakan kreativitas manusia, namun tak dapat dipungkiri, bahwa Allah pun berperan dalam hal ini.

Penerimaan adanya majaz dalam Al-Qur’an, mengakibatkan pengakuan adanya takwil dalam tafsir, namun bukan berarti secara leluasa dalam penggunaannya. Kelompok al-Asyariyah, misalnya, meskipun mengakui adanya takwil, namun dalam penerapannya memberikan syarat yang ketat, hingga memberikan ruang yang sempit terhadap takwil. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah adanya perbedaan sikap mengenai hakikat dan majaz. Hakikat adalah ashl, sedangkan majaz adalah far’.

Syarat-Syarat Takwil

Mufassir bekerja dalam batas-batas ilmu Al-Qur’an dan bahasa. Ilmu-ilmu al-Qur’an berkaitan erat dengan teks karena membicarakan berbagai aspek teks, sedangkan ilmu bahasa dengan segala cabangnya sangat penting bagi kajian seuruh teks bahasa. Berbekal pengetahuan tersebut, seta penguasaannya dengan baik, pembaca akan mampu menyingkap makna teks, beralih posisi dari tingkatan pembaca menjadi seorang mufassir. Langkah berikutnya, apabila menemukan dimesni semantic yang lebih dalam, makan akan  memerlukan gerak takwil, setelah mufassir dengan segala perangkatnya menguras segala kemungkinan makna.[13]

Sejalan dengan hal itu, sebagaiman dikutip M. Quraish Shihab, Nasr Hamid menyatakan bahwa, takwil yang tidak berdasar pada tafsir adalah takwil yang tertolak lagi buruk. Karena Istinbath tidak sekedar berdasar perkiraan, tidak juga memaksakan teks untuk tunduk pada dorongan nafsu atau idiologi. Istinbath harus berdasar kepada hakikat teks dari satu sisi dan penegertian kebahasaan dari sisi lain, lalu setelah itu menuju makna yang lebih dalam tanpa melakukan loncatan yang bertentangan dengan teks.[14]

Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa untuk menjadi seorang penakwil, harus terlebih dahulu menjadi seorang mufassir. Maka dalam hal ini yang dipakai adalah syarat-syarat seorang penafsir. Imam al-Syuthi memberikan perincian yang jelas mengenai syarat-syart tersebut[15]:

1.      Ilmu bahasa Arab, terkait dengannya makna secara kebahasaan dan musytarak-nya

2.      Ilmu nahwu

3.      Ilmu sharaf

4.      Pengetahuan tentang isytiqaq

5.      Ilmu alma’aniy

6.      Ilmu albayan

7.      Ilmu albadi’

8.      Ilmu alqira’at

 

9.      Ilmu ushul aldin

10.  Ilmu ushul fiqh

11.  Asbab annuzul

12.  Naskh dan Mansukh

13.  Fiqih

14.  Hadits-hadits yang berkaitan dengan penafsiran

15.  Ilmu alMauhibah, disitilahkan oleh sebagian ulama dengan shihah alaqidah

 

Menanggapi beberapa syarat tersebut, M. Quraish Shihab memberikan beberapa catatan dan sebab-sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan. Catatannya adalah[16]:

  1. Syarat-syarat tersebut ditujukan kepada seseorang yang akan menampilkan pendapat baru berdasar analisanya
  2. Syarat-syarat tersebut adalah bagi mereka yang akan menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an
  3. Sebagian syarat, perlu diberi pemaknaan yang berbeda, seperti shihah alaqidah, bisa diberikan pemaknaan dengan objektivitas

Adapun sebab-sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan adalah[17]:

  1. Subjektivitas
  2. Tidak memahami konteks, baik sejarah maupun hubungan ayat
  3. Tidak mengetahui siap pembicara atau mitra dan siapa yang dibicarakan
  4. Kedangkalan ilmu-ilmu alat
  5. Kekeliruan menerapkan metode dan kaidah
  6. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian ayat

Menyangkut kemudian permasalah sebuah takwil bisa diterima atau tidak, terdapat perkembangan ketetapan. Pada ketetapan pertama, takwil bisa diterima selama makna yang dipilih telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya al-Qur’an. Ketetapan kedua memperingan dengan menghapus kalimat secara luas. Dan dalam ketetapan ketiga menyatakan bahwa selama makna yang dipilih dapat ditampung oleh akar kata lafad.[18] Sebagian pakar juga menyebutkan bahwa takwil terdiri dari empat unsur yang menyatu,

  1. Nash dengan makna syaria’ah-nya
  2. Maqashid alSyari’ah yang dikandung nash
  3. Kondisi yang dibicarakan nash
  4. Wawasan luas pentakwil

Wawasan luas bukanlah bermaksud kebebasan berpikir tanpa rambu dan batas, namun tetap terbatasi oleh kebahasaan dan maqashid alsyariah. Salah satu kaidah dalam konteks takwil adalah, setiap hasil pentakwilan yang bertentangan dengan maqashid al-syariah tidak dapat diterima.[19]

Tafsir bi al-Isyarah

Definisi mengenai tafsir bil Isyarah sangat beragam, diantaranya yang lebih rinci adalah defines yang dikemukakan ‘Ali al-Sabuni[20],

هوَ تَأْوِيْلُ الْقُرْأَنِ عَلَى خِلَافِ ظَاهِرِهِ لِإشَارَاتِ خَفِيَّةِ تَظْهِرُ لبَعْضِ أُوْلىِ العِلْمِ أَوْ تَظْهِر للعَارِفيْنِ باِللهِ مِنْ اَرْبَابِ السُلُوْكِ والمجاَهَدَةِ لِلنَّفْسِ مِمّنْ نوَّرَ اللهُ بَصَائِرَهُمْ فأَدْرَكُوْا أَسْرَارَ القُرْأَنِ العَظِيْمِ اَوْ نقدحت فيِ أذْهَانِهِمْ بعَض المعانيِ الدَقِيقَةِ بِوَاسِطَةِ الإِلهامِ الإِلهي اَوِ الفَتْحِ الرَبَانِي مَعَ امْكَانِ الجَمْعِ بينَهَا وَبينَ ظَاهرِ المرَادِ مِنَ الأَيَاتِ الكَرِيمةِ

Men-takwil-kan al-Qur’an berbeda dengan dzahirnya, tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi orang yang memiliki ilmu laduni atau orang-orang yang arif billah, seperti ahli suluk dan bermujahadah dengan menundukkan nafsunya, sehingga mereka memperoleh cahaya Allah yang menyinari serta menembus rahasia al-Qur’an al-Adzim. Atau mereka yang telah digoresi fikirannya dengan sebagian makna yang dalam, melalui ilham ilahi atau fathi rabbani yang memungkinkan baginya untuk memadukanya dengan dzahir yang dimaksud dari ayat-ayat yang mulia.

Definisi tersebut memuat beberapa karateristik tafsir bil isyarah, yaitu, menggunakan metode takwil, berdasarkan isyarat khafiyyah dan dilakukan oleh arbab suluk/sufi. Pengetahuan para sufi tidak berdasarkan teks, akan tetapi berdasar kepada isyarat khafiyyah, intuisi yang dikaruniakan Allah kepada seseorang dan dipatrikan ke dalam qalb-nya, sehingga tersingkap olehnya sebagian rahasia dan realitas.[21] Untuk itu diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seorang sufi mampu menerima limpahan pengetahuan tersebut. Setidaknya terdapat tujuh tingkatan (maqamat) yang harus dilalui,

  1. Taubat. Pada mulanya taubat atas perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah dan taubat dari klaim bahwa telah taubat
  2. Wara’ secara lahir dan batin
  3. Zuhud
  4. Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali Allah.
  5. Sabar, rela menanggung beban dan kesulitan semata demi ridha Allah
  6. Tawakkal dalam hati
  7. Ridha, hilangnya rasa ketidaksenangan terhadap apa yang diberikan oleh Allah

Setelah mencapai tingkatan tertentu dalam olah spiritual, seorang sufi akan mendapatkan limpahan pengetahuan dari Allah secara illuminatif. Pada tahap ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesdaran diri yang demikian mutlak, sehingga mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai obyek yang diketahui.[22]

Aliran tasawuf secara umum terbagi dalam dua aliran, aliran nadhariy dan ‘amaliy. Aliran nadhariy, berusaha membangun faham tasawufnya berdasarkan teori dan doktrin filsafat. Mereka mengkaji al-Qur’an, sejalan dengan teori dan sesuai dengan doktrin mereka. Aliran ‘amaliy, mempraktekkan hidup zuhud dan tidak melandasi dengan teori-teori aliran nadhariy. Mereka menafsirkan al-Qur’an berbeda dengan makna dhahir-nya, berdasarkan isyarat yang diterima. Dua aliran inilah yang kemudian memberikan warna dalam penafsiran bil isyarah.[23]

Prespektif tafsir bi alisyarah mengenal adanya empat kategori makna yang biasa dikenal dengan qanun al-tarbiy li takwil al-sufiy. Mencakup diantaranya, dhahir (objektif), bathin (subjektif), had (intersubjektif) dan matla’ (interobjektif).  Kategori dhahir adalah makna yang dipahami oleh kalangan awam, semantara had adalah makna yang terkait hukum. Sedang bathin adalah makna kiasan dan matla’ adalah dimensi hakikat. Hal ini disandarkan pada hadits,

لكل اية ظهر وبطن ولكل حرف حد مطلع

Hadits tersebut merupakan hadits yang popular dalam tradisi sufisme, syi’ah dan kelompok isma’iliyyah. Tradisi sufi, baik nadhariy maupun isyariy, berawal dari pemahaman bahwa al-Qur’an mempunyai beberapa level makna. Manusia mempunyai potensi untuk menyingkap makna tersebut dan penafsiran adalah tidak terbatas.[24] M. Anwar Syarifuddin, kemudian menyajikan sebuah table mengenai empat kategori tersebut,

Al-Qur’an Dhahir Tilawah Muhkam Ma’arafahu al-arab Praktikal
Had Halal wa Haram Halal Al-halal wa al-haram Legal
Haram
Batin Fahm (takwil) Amtsal Ma’arafahu al-‘ulama Metaforikal
Matla’ Isyaraf al-qalb ‘ala al-murad biha Mutasyabih Ma la ya’lamu ta’wilahu illa Allah Testimonial

Tidak semua orang dengan kapasitas intelektual, mampu menelaah seluruh makna dari emapt kategori tersebut. Dua aspek pemahaman yang berlaku umum dan sepatutnya diketahui sebgai panduan hidup manusia adalah aspek praktikal dan legal. Hanya beberapa kalangan tertentu saja seperti kalangan ulama dan para sufi, yang mampu menyelami aspek metaforikal dan testimonial. [25]

Penekanan tafsi bi al-isyarah pada dimensi isyarat-isyarat yang diperoleh secara batin, sebenarnya bukan berarti tidak dapat diukur. M. Quraish Shihab menyatakan, bahwa tafsir ini dapat dibenarkan dengan ketentuan-ketentuan[26]:

  1. Maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat keagamaan dan lafad ayat
  2. Tidak menyatakan bahwa itulah satu-satunya makna
  3. Ada korelasi anatara makna dengan ayat
  4. Sebagian ulama menambahkan dengan, adanya dukungan ajaran agama terhadap makna tersebut

Thaher bin ‘Asyur, mengemukakan bahwa isyarat-isyarat yang dikemukakan tidak keluar dari tiga macam, yaitu:

  1. Merupakan sesuatu yang serupa keadaannya dengan apa yang dilukiskan ayat
  2. Isyarat yang kahir merupakan dorongan prasangka baik dan optimism, karena bisa jadi ada satu kalimat yang darinya terlintas satu makna, tapi bukan itu yang dimaksud oleh kalimat.
  3. Isyarat berupa hikmah dan pelajaran yang selalu ditarik oleh orang-orang yang ingat, sadar dan menarik hikmah dari apa saja yang terbentang.

Setelah mengemukakan ketiga hal tersebut, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa, setiap isyarat yang melampui ketiga makna tersebut, maka akan mengarah sedikit demi sedikit kearah penafsiran bathiniyyah.[27]

Takwil yang tercela

Takwil yang tertolak dalam lingkupan tafsir bi al-isyarah adalah tafsir bathiniyah. Istilah bathiniyah dalam hal ini, tidak lagi merujuk kepada tafsir bi al-isyarah secara umum, tapi praktek pemaknaan dengan mengambil makna isyaratnya saja dan tidak mengakui makna lahiriah. Atau setidaknya menyatakan bahwa, makna lahiriah lafad adalah untuk orang awam, sedangkan makna batinnya untuk orang-orang khusus.[28] Sedangkan, seperti yang dipaparkan sebelumnya, selamatnya tafsir bi al-isyarah adalah karena para sufi tidak menafikan sama sekali kandungan makna dhahir, tetapi lebih jauh mereka menggunakan makna dhahir ini untuk sampai pada makna bathin.[29] Sebagaimana penafsiran terhadap QS. Al-Taubah: 60,

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…”

Ayat ini berbicara tentang mustahiq zakat, tetapi sebagian kaum sufi, disamping memahaminya demikian, juga memahaminya sebagai isyarat. Siapa yang ingin memperoleh karunia Allah ke dalam hatinya, maka hendaklah ia menjadi fakir kepada Allah.[30]

Tradisi Syi’ah menyakini bahwa al-Qur’an berisi ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, yang masing-masing memiliki takwil. Kemudian yang mempunyai otoritas untuk mentakwilkan adalah Nabi Muhammad dan para imam ahlul bait. Mereka inilah yang dapat menyentuh dan meraih hakikat makna al-Qur’an di lauh almahfudz. Namun pada akhirnya, hasil penakwilan yang mereka adalah penakwilan yang menguatkan kedudukan, unsur-unsur subjektif terlihat jelas dalam hal ini.[31] Seperti contoh penakwilan mereka terhadap“aimmata al-kufr”, pada QS. Al-Taubah: 12, dalam pandangan mereka adalah Talhah dan Zubair,

وَإِن نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُم مِّنۢ بَعۡدِ عَهۡدِهِمۡ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمۡ فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلۡكُفۡرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيۡمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ ١٢

“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”

Penutup

Takwil kurang begitu disukai oleh ulama adalah karena penggunaannya yang secara berlebihan dan tidak mengikuti kaidah. Penakwilan seperti itu terlihat ketika para aliran kalam, yang memaksakan prakonsepsi dan idiologinya terhadapa penakwilan ayat. Penggunaan aql sebagai satu-satunya alat untuk menafsirkan, tentu tidak diperbolehkan atau tafsirnya tertolak, seiring dengan harusnya pemenuhan syarat-syarat penafsiran. Takwil maupun tafsir bi alra’yu, pada dasarnya bukanlah mengunggulkan aql terhadap naql, tetapi bagaimana mengkolaborasikan keduanya, sehingga mampu menghasilkan makna baru yang sesuai dengan norma-norma agama.

Takwil bi al-isyarah yang dilakukan oleh para sufi, pada akhirnya merupakan takwil yang selamat, asalkan memenuhi kriteria-kriterianya. Tidak setiap penafsir mampu memenuhi kriteria penakwil, begitu juga tidak setiap penakwil mampu melakukan takwil bi al-isyarah. Walaupun melalui metode isyarah batiniyah, bukan berarti secara ilmiah takwil ini tidak bisa diukur. Korelasi antara makna dengan ayat serta tidak adanya pertentangan antara makna dengan agama dan lafad ayat adalah salah satu cara menilai takwil ini. Tidak setiap tafsir bisa diterima dan tidak setiap takwil dapat ditolak. Kita yang mengikuti agama, bukan agama yang mengikuti kita. Wallahu A’lam.

Daftar Pustaka

Al-Buyumi, Muhammad Rajab, Khutuwat al-Tafsir al-Bayan, Juz 2

Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bandung: PT. PustakaLitera AntarNusa, 2006

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016

_____, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: LKiS, 2003

Baidan, Nasaruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016

Kholis Setiawan, M. Nur, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007

_____, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Penerbit Lentera Hati, 2015

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: KENCANA Prenamedia Group, 2014

Wahyudi, Ta’wil Sufi al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an (Studi Komperatif),  Tesis, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2017

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 107.

[2] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 224

[3] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hal. 457-459

[4] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 219

[5] Ibid, hal. 219-220

[6] Ibid, hal. 221-222

[7] Ibid, hal. 220

[8] M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jurnal Studi Agama dan Masyaraat, Vol. 1, No. 2, Desember 2004, hal. 5-7

[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, hal. 273

[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, hal. 33

[11] Muhammad Rajab al-Bayumi, Khuthuat al-Tafsir al-Bayani, hal. 133

[12] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hal. 181-182

[13] Nasr Hamid, hal. 296-297

[14] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 223

[15] Ibid, hal. 395-396

[16] Ibid, hal. 397

[17] Ibid, hal. 398-399

[18] Ibid, hal. 224-225

[19] Ibid, hal. 225

[20] Wahyudi, Ta’wil Sufi al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an (Studi Komperatif), Tesis, UIN Sunan Ampel, 2017, hal. 22-23

[21] Ibid, hal. 32

[22] Ibid, hal. 33-36

[23] Ibid, hal. 39

[24] Ibid, hal. 42-44

[25] M. Anwar Syarifuddin, hal. 9

[26] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 370

[27] Ibid, hal. 371-373

[28] Ibid, hal. 373

[29] M. Anwar Syarifuddin, hal 11

[30] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 369-370

[31] Mohamad Dzikron, Kontruksi Takwil dalam Prespektif Syiah, Jurnal Tarjih, Vol. 11, No. 1, 2013, hal. 27-28

EPISTEMOLOGI BAYANI


Pendahuluan

Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Seperti, Apa yang dikaji oleh pengetahuann itu? (ontologi), bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut? (epistemologi), dan untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan? (aksiologi)[1].

Pengkajian suatu obyek sangat bergantung pada episteme, teori pengetahuannya, karena dengan episteme yang berbeda dapat melahirkan cara pandang yang berbeda terhadap obyek kajian dan menghasilkan kegunaan yang berbeda pula. Kajian epistemologi Barat mengenal tiga aliran epistemologi, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sedangkan dalam pemikiran filsafat Hindu, dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari teks suci, akal dan pengalaman pribadi.[2]

Pembahasan tentang epistemologi, juga tidak lepas dari perhatian para filusuf Islam. Al-Ghazali (1058-1111 M) misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki tiga alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu; panca indera, akal dan qalb. Ibnu Rusyd (1226-1198 M) mengungkapkan, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera dan rasio, namun hanya pengetahuan yang dihasilkan rasio yang bisa dianggap pengetahuan sejati. Mulla Sadra (1571-1640 M) melahirkan al-Hikmah al-Muta’aliyah, yang berdasarkan pada intuisi-intelektual, pembuktian rasional dan syariat Islam. Pada era kontemporer, ‘Abid al-Jabiri (1936-2010 M), dengan proyek nalar Arab-Islamnya, mengkatagorikan epistemologi Islam dalam tiga bentuk, yaitu bayani, ‘irfani dan burhani.[3]

Penyusun akan membahas salah satu epistemologi yang dikategorikan oleh al-Jabiri, yaitu epistemologi bayani. Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks  (nash), secara langsung atau tidak langsung.[4] Salah satu keunggulan bayani adalah akan menghasilkan al-‘Ilm al-Taufiqi, karena pokok bahasanya adalah nash yang berisi wahyu Allah.[5] Tulisan ini bertujuan untuk  mendeskripsikan teori dan sejarah perkembangan bayani dalam ranah pemikir Islam, metodologi bayani dan hubunganya dengan ilmu tafsir.

  1. Teori dan Sejarah Perkembangan Bayani

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferansi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menetukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks[6].

Istilah bayani dari kata bahasa Arab, bayan, berarti penjelasan (eksplansi). Al-Jabiri, memberikan arti bayan sebagai al-fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhur wa al-idhhar (jelas dan penjelasan). Makna al-fashal wa  al-idhhar dalam kaitanya dengan metodologi, sedangkan infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ra’y) dari metode Bayani. Sementara itu, secara terminologi, bayan mempunyai dua arti, yaitu (1) sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khithabi) dan (2) syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-khithab).[7]

Pada masa al-Syafii (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ashl (pokok) dan yang berkembang hingga ke far’ (cabang). Sedangkan dari segi metodologi, Al-Syafii membagi bayani ini dalam lima bagian dan tingkatan:

  1. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
  2. Bayan yang beberapa bagianya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah
  3. Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah
  4. Bayan sunnah, sebagai uraian yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
  5. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah

Dari lima derajat bayan tersebut, al-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushul) ada tiga, yaitu Al-Qur’an, sunnah dan qiyas kemudian ditambah ijma’.[8]

Al-Jahizh (781-868 M) kemudian mengkritik konsep bayan al-Syafii, menurutnya, apa yang dilakukan al-Syafii baru tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana, Jahizh menetapkan syarat bagi bayani:

  1. Syarat kefasihan ucapan
  2. Seleksi huruf dan lafal-lafal sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna
  3. Adanya keterbukaan makna, yaitu makna harus bisa diungkap dengan salah satu dari lima bentuk penjelas, yaitu lafal, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah
  4. Adanya kesesuaian antara kata dan makna
  5. Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan mengakui kekalahan konsepnya sendiri[9]

Ibn Wahhab al-Khatib (870-950 M),  menyatakan bayani bukan diarahkan untuk “mendidik” pendengar, melainkan metode untuk membangun konsep di atas dasar ashl-far’, dengan perpaduan antara metode fiqih dan teologi, karena yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci. Ibn Wahhab menawarkan empat macam bayani:

  1. Bayan al-i’tibar untuk mejelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi
  2. Bayan al-i’tiqad berkaitan dengan hati
  3. Bayan al-ibarah berkaitan dengan teks dan bahasa
  4. Bayan al-kitab berkaitan dengan konsep-konsep tertulis[10]

Al-Syathibi (1336-1388 M), mengembangkan pemikiran Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa, dua teori utama dalam bayani, istinbath dan qiyas, hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan. Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani:

  1. Al-istintaj, sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului. Menurut Syathibi, semua dalil syara’ mengandung dua premis, yaitu nazhariyah (teoritis-berbasis rasio, penelitian dan penalaran-premis minor) yang merujuk pada uji empiris suatu sebab hukum, dan naqliyah (transmitif-premis mayor) yang merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup kasus yang sejenis sehingga merupakan kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima.
  2. Istiqra adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan thematic induction.
  3. Maqashid al-syar’iyah, berarti bahwa diturunkanya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang kemudian terbagi dalam tiga macam, yaitu dharuriyat (primer), hajiyyah (sekunder) dan tahiniyah (tersier)

Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sistematis; proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan far’ pada ashl, tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filasafat.[11]

Metodologi Bayani

Struktur Dasar Bayani

Al-Jabiri bependapat, secara historis, bayani merupakan sistem epistemologi yang palng awal muncul dalam pemikiran Arab. Sistem ini menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginius), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fiqh) serta ‘ulumul Qur’an (interpretasi, hermeneutika dan eksegesis), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra non-filosofis. Sisitem bayani lahir sebagai suatu kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah diskursus (interpreting of discourse), sekaligus menentukan berbagai prasyarat bagi pembentukan wacana. Konsepsi dasar dari sistem ini berupaya mengkombinasikan berbagai metode fiqh-yang dikembangkan oleh al-Syafi’iy dengan bermacam-macam metode retorika yang dikembangkan oleh al-Jahiz. Konsepsi itu terpusat pada relasi antara ujaran dan makna, selain para fukaha dan teolog mutakhir menambahkan prasyarat-prasyarat kepastian, analogi materi subjek dari laporan dan berbagai tingkat autentitasnya.[12]

Bayani memiliki suatu visi yang berpusat pada tiga prinsip utama, yaitu; (1) Diskontinuitas merujuk kepada prinsip bahwa semua bermula dari kehendak Tuhan, termasuk berbagai tindakan yang dinisbatkan kepada manusia. (2) Kontingensi, karena semua adalah kehendak Tuhan, maka ada kemungkinan bagi Tuhan untuk mencampurkan materi yang saling bertentangan dan kontradiksi. (3) Analogi, merupakan prinsip metodologi bayani, beroprasi dalam disiplin ilmu gramatika (nahwu) dan yurisprudensi (ushul fiqh), dari al-ashl ke kasus tertentu (far’), dan dari yang diketahui (syahid) kepada yang tidak diketahui (ghaib).[13]

Selain itu terdapat beberapa unsur-unsur pemikiran yang berkaitan dengan bayani, yaitu, membatasi pada wilayah permukaan bahasa dengan menghindari ta’wil, menganut pandangan la kaifa (tidak banyak bertanya soal “mengapa” dan “bagaimana”), berpegang kepada format-format bahasa dan bentuk-bentuk bayani yang bersifat keindraan, membatasi definisi yang menggambarkan sifat, bukan subtansi hakikat dan antikausalitas.

Sebagai gantinya, episteme ini menganit pandangan munasabah (kesepadanan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya) dan adat (hukum kebiasaan, bukan kepastian), menolak ide ketidakberhinggaan serta segala yang berkaitan dengannya, pro qiyas fiqh dalam setiap penalaran, bertitik tolak dari pola baku fi’il dalam bahasa dan pemikiran dan mengaitkansegenap format bahasa serta pikiran ke bentuk baku ini. Unsur-unsur inilah yang berlaku dalam bayani dan dianut oleh “kaum tekstual” dan salaf yang mengkalim diri berpegang teguh pada orisinalitas dan autentisitas.[14]

Syarat-Syarat Mujtahid

Imam al-Syafi’iy menyatakan, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika akan melakukan ijtihad atau qiyas,

“orang tidak boleh melakukan qiyas kecuali jika memiliki perangkat untuk melakukannya, yakni, memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum yang ada dalam Kitabullah, ketentuan-ketentuannya, aspek sastranya, nasikh dan mansukh-nya, ‘am dan khas-nya, serta petunjuk-petunjuknya, dan orang tidak boleh melakukan qiyas kecuali memiliki pengetahuan tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama’ sebelumnya, ijma’ dan perselisihan umat serta bahasa Arab.”[15]

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat mujtahid adalah, (a) menguasai bahasa Arab secara sempurna, (b) mahir dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, (c) mengerti isi dan maksud di dalam Al-Qur’an, (d) mengetahui hadits-hadits Nabi, (e) menguasai ilmu-ilmu hadits, dan (f) mengetahui fatwa-fatwa terdahulu.

Cara Mendapatkan Pengetahuan

Untuk mendapatkan pengetahuan, bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisis. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi). Dalam kajian ushul al-fiqih, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan suatu hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam qiyas, yaitu:

  1. Al-ashl, yaitu nash suci yang memberkan hukum dan dipakai sebagai ukuran,
  2. Al-far’, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash
  3. Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh al-ashl
  4. Illat, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl

Contoh qiyas adalah seperti soal penetapan hukum minuman arak dari kurma. Arak dari perasan kurma kurma disebut cabang (far’), karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah pokok (ashl), sebab ia terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasanya (illat) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena persamaan alasan anatara arak dan khamer, yaitu memabukkan.[16]

Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan ini digunakan dalam tiga aspek:

  1. Qiyas dalam kaitanya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun furu’. Bagian ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) qiyas jali, dimana far’ mempunyai persoalan hukum yang kuat disbanding ashl, (2) qiyas fi ma’na al-nash, dimana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama, dan (3) qiyas al-khafi, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid.
  2. Berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far’, atau yang menunjuk ke arah itu. Bagian ini meliputi dua hal yaitu, (1) qiyas illat, yaitu menetapkan illat yang ada pada ashl kepada far’, (2) qiyas al-dilalah, yaitu menetapkan petunjuk yang ada pada ashl kepada far’, bukan illat-nya.
  3. Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far’, yang oleh Al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat, (1) adanya perubahan hukum baru, (2) keserasian, (3) keserupaan, dan (4) menjauhkan.[17]

Lafal dan Makna, Ushul dan Furu’

Berdasarakan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubunganya dengan “realitas”, persoalan pokok yang ada di dalamnya adalah sekitar lafal-makna dan ashl-far’. Menurut al-Jabiri, persoalan lafal-makna mengandung dua aspek, yaitu:

  1. Teoritis, dari sisi ini muncul tiga persoalan, yaitu;
  • Tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya. Kaum Sunni, dengan asumsi dasar pengetahuan Arab, bahwa makna dan sistem berpikir lahir dari kata (teks), bukan teks lahir dari makna dan sistem berpikir.
  • Tentang analogi bahasa, dalam hal ini Ulama sepakat bahwa analogi diperbolehkan, tetapi hanya dari sisi logika bahasanya, bukan pada lafal atau redaksinya.
  • Tentang pemaknaan al-asma’ al-syar’iyah. Al-Baqilani (950-1012 M) menyatakan, karena Al-Qur’an diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab, maka harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab. Sebaliknya, menurut Muktazilah, pada hal tertentu, lafal bisa dimaknai dengan pengertian lain, sebab Al-Qur’an sendiri tidak jarang menggunakan istilah Arab, tetapi dengan mankna sendiri yang berbeda dengan makna asalnya.
  1. Praktis, berkaitan dengan masalah penafsiran atas wacana syara’. Ulama fiqih banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat kejelasan maupun metodenya.[18]

Selanjutnya soal ushul-furu’, Al-Jabiri berpendapat, ushul di sini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqih, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal dari proses penggalian pengetahuan. Al-Jabiri kemudian melihat tiga macam hubungan antara ushul dengan furu’:

  1. Ushul sebagai “sumber” pengetahuan yang cara mendapatkanya dengan istinbath. Istinbath menggali untuk mendapatkan sesuatu yang baru sehingga nash berkedudukan sebagai sumber pengetahuan.
  2. Ushul sebagai “sandaran” bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaanya dengan qiyas baik qiyas illat ulama fiqih atau qiyas dilalah kaum teolog.
  3. Ushul sebagai “pangkal” dari proses pembentukan pengetahuan, yang caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul al-fiqih.[19]

Langkah-Langkah

Qiyas dapat dilakukan ketika sumber-sumber hukum telah “diam”, tidak memberi jawaban. Jadi secara prosederal, suatu permasalahan yang membutuhkan ststus hukum, terlebih dahulu dicari penjelasnya dalam al-Qur’an. Jika kemudian tidak ditemukan di dalamnya, maka kemudian merujuk kepada as-Sunnah yang mutawatir, dan seterusnya hingga mencapai Ijmak, nashnash ahad, petunjuk zhahir dalam al-Qur;an dan as-Sunnah, kemudian baru melakukan qiyas dengan memperhatikan urutannya. Secara terperinci dapat diurutkan bahwa proses dan prosedur ijtihad bayani model al-Syafi’i adalah sebagai berikut[20]:

  1. Nashnash[21] al-Kitab
  2. Nashnash khabar mutawatir
  3. Ijma’ ulama terdahulu
  4. Nashnash khabar ahad
  5. Petunjuk zhahir[22] al-Qur’an dan sunnah
  6. Qiyas dengan memperhatikan urutan sebagai berikut:
  • Kaidah-kaidah kulliyah
  • Cakupan nash atau ijmak
  • Qiyas Mukhil
  • Qiyas al-Syabah[23]

Validitas

Epistemologi bayani sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan dari nash, maka pengetahuannya bersumber kepada Al-Qur’an, ijtihad Nabi, Qira’at, ijtihad ulama terdahulu (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya), isra’iliyat dan syair-syair jahiliyah.[24] Al-Syafi’i dalam konsepnya, menjelaskan bahwa bahasa Arab dapat memuat banyak hal, mulai A hingga Z, dari masa lalu sampai masa depan. Andaikan teks hanya mencakup dari A hingga K, maka untuk mencari status hukum dari L hingga Z harus dirujukkan pada sesuatu yang sudah jelas status hukumnya, yakni teks A hingga K.[25]

Episteme bayani, menuntut sebuah teks untuk berposisi sebagai subjek dan  penafsir sebagai objek, nash menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi tool of analysis-nya. Oleh karena itu validitas penafsirannya bergantung pada shahih tidaknya sanad dan matan riwayat dan kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kaedah-kaedah kebahasaan dan riwayat hadis.[26]

Relevansi dengan Ilmu Tafsir

Al-Quran memiliki keistimewaan bahwa kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Ia bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari setiap sisinya. Jika memandang dari satu sisi, sinar yang dipancarkannya berbeda dengan sinar yang memancar dari sisi yang lain. Bahkan jika orang lain memandang, boleh jadi apa yang dilihatnya berbeda dengan apa yang  telah dilihat[27].

Pada bagian awal telah dipaparkan bahwa, konsep bayani sejak masa al-Syafi’i hingga al-Syatibi telah mengalmi penyempurnaan-penyempurnaan. Fazlur Rahman, pemikir Islam kontemporer kemudian mengungkapkan,

Di samping kitab-kitab tafsir, kaum muslim telah merumuskan sejumlah besar karya mengenai metode-metode atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an yang disebut ushul al-tafsir.., mereka telah melakukan suatu jasa besar bagi upaya pemahaman al-Qur’an, penggunaan bahasa harfiah dan metaforisnya, juga dalam membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai pengertian umum dan khusus, dan lain-lain. Usaha-usaha ini sebenarnya sangat penting untuk pemahaman terhadap teks al-Qur’an. walaupun demikian, terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutika yang akan menolong kita dalam memahami makna al-Qur’an secara utuh. Sehingga bagian-bagina teologis, etis dan legal al-Qur’an menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh dan padu.[28]

Menanggapi hal tersebut, Damanhuri kemudian menambahkan bahwa, meskipun secara fisik kita memiliki al-Qur’an, namun dari segi spirit dan makna tidaklah demikian. Klaim bahwa al-Qur’an berlaku dan cocok sepanjang zaman dan segala tempat, akan menuntut pembuktian. Di sinilah kemudian berlaku “lingkaran hermeneutika”, yaitu proses dialog dan interogasi yang berlangsung antara al-Qur’an dan pembacanya. Adakalanya teks berdiri sebagai subjek, tetapi pada waktu yang sama bisa diposisikan sebagai objek.[29]

Sekedar pendekatan rasional-deduktif tidaklah cukup tanpa disertai kedekatan subjek pada objek dengan keterbukaan pikiran dan hati untuk mendengarkan serta memahami teks secara utuh. Dengan demikian, dalam memahami teks pembaca dituntut untuk berusaha memahami pribadi sang pengarang, situasi dan tradis sosial tempat ia hidup serta format teks yang ditulisnya. Namun bagaimana dengan al-Qur’an yang pengarangnya adalah Tuhan, yang berada di luar kategori historis dan psikologis? Dalam tradisi tafsir, pertanyaan ini dikembalikan dan dibatasi kepada asbabun nuzul atau konteks sosial-historis seputar turunnya al-Qur’an, terutama yang berhubungan dengan diri Nabi Muhammad saw sebagai penerimnaya.[30]

Hal yang paling pokok dalam tradisi Islam, bukan pada soal ketepatan pembaca/mujtahid menghadirkan kembali maksud pengarang yang sesungguhnya, tetapi lebih pada cara pembaca/mujtahid menghormati teks dengan berusaha memahaminya serta tidak mencoba menggantikannya. Dengan kata lain, pemahaman terhadap teks tidak harus berhenti pada objektivitas, tetapi juga subjektivitas perlu ditampakkan agar teks tetap menjadi pihak yang berwenang (otoritatif).[31]

Pengembangan metodologis dalam episteme bayani, yang pada mulanya hanya menonjolkan sisi otoritas dan kesakralan nash, dapat dilakukan dengan menerapkan teori sastra kontemporer tanpa meninggalkan kerangka teori epistme bayani itu sendiri. Usaha untuk menjadikan al-Qur’an sebagai literatur, yang dikembangkan oleh beberapa pemikir kontemporer, tidak harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Tetapi, setidaknya mendekati kebenaran situasional, sebagai upaya untuk mencari metode pemahaman sederhana yang dapat diterima oleh pembaca kontemporer. [32]

Sebagai akademisi Islam, cara pandang kita terhadap al-Qur’an dapat dilakukan dengan dua sisi. Satu sisi, kita meyakini bahwa al-Qur’an adalah wahyu serta sebagai data dan fakta sejarah. Dalam hal ini kita memposisikan al-Qur’an sebagai “wahyu” yang tidak terjamah. Di sisi lain, wujud riil al-Qur’an yang kita hadapai sekarang adalah berupa teks (mushaf) yang tersusun dari bahasa verbal (bahasa tulisan yang berasal dari lisan) yang mempunyai struktur, simbol dan sistem makna yang indah dan mendalam serta membentuk pandangan dunia yang khas. Terkait hal tersebut, maka kita bisa menerapkan teori sastra kontemporer semantik, strukturalisme, semiotika dan hermeneutika sebagai perangkat analisis dalam menafsirkan al-Qur’an.[33]

Kajian teori tersebut merupakan disiplin keilmuan yang mefokuskan kajian terhadap bahasa sebagai locus of meaning dengan sedikit perbedaan titik tekan dalam aplikasinya. Semantic memfokuskan usaha pencapaian makna sebagai sebuah pandangan dunia. Strukturalisme memfokuskan diri pada struktur (bahasa) teks dan wacana (discourse). Semiotika memfokuskan bahasa sebagai sebuah sistem tanda. Hermeneutika memfokuskan paradigm dan teori interpretasi dalam pengertian metode dan filsafaat interpretasi..[34]

Kesimpulan

Epistimologi bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferansi (istidlal). Perkembangan metode bayani telah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan sejak masa al-Syafi’i hingga pada masa kontemporer.

Bayani mempunyai tiga prinsip utama, yaitu diskontinuitas, kontingensi dan analogi. Dengan syarat-syarat yang ketat, bayani berupaya untuk menunjukkan keotoritasan dan kesakralan teks. Bayani menempuh dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, (1) berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisis. (2) menggunakan metode qiyas (analogi) yang dilihat dari tiga aspek, hubungan ashl dan far’, illat yang ada pada ashl dan far’ dan kecenderungan yang menyatukan antara ashl dan far’.  Validitas penafsirannya bergantung pada shahih tidaknya sanad dan matan riwayat dan kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kaedah-kaedah kebahasaan dan riwayat hadis

Al-Qur’an dapat dipandang dalam dua konsep, sebagai wahyu dan sebagai mushaf. Penerapkan teori sastra kontemporer semantik, strukturalisme, semiotika dan hermeneutika sebagai perangkat analisis dalam menafsirkan al-Qur’an, dapat dimasukan dalam pengembangan metodologis episteme bayani. Wallahu a’lam.

 

Daftar Pustaka

Al-Jabiri, Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002

______, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009

Damanhuri, Ijtihad Hermeneteus, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016

Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.

Khalil, Rasyad Hanan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, alih bahasa: Nadirsyah Hawari, TarikhTasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Azmah, 2009.

Mustofa, A., Filsafat Islam, Bandung; CV. Pustaka Setia, 1997.

Rahmatikawati, Yayan dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Strukturalisme, Semantik, Semiotika Dan Hermeneutika, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013

Shihab, M. Quraih, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2007.

______, Secercah Cahaya Ilahi, Bandung: Mizan, 2007.

Soleh, A. Khudori, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:Penerbit Sinar Harapan, 1984

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996

Yunus Hasan, Abidu, Tafsir Alqur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, (terj.) Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, M. Ag, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007

Wijaya, Aksin, 2016Nalar Kritis Epistemologi Islam Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Thaha Husein, M. Abid Al-Jabiri, Yogyakarta: Kalimedia, 2017

______, Sejarah Kenabian dalam Prespektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, Bandung: Mizan,

[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, hal. 33-35

[2] A. Khudori Soleh, Model-Model Epistemologi Islam, hal. 195

[3] Fathul Mufid, “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol 17 No. 1 VI/2013, hal. 24-33

[4] A. Khudori Soleh, Op.Cit.

[5] Fathul Mufid, Op.Cit., hal 34

[6] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Hal. 237

[7] Ibid., hal 237-238

[8] Ibid., hal. 238-239, Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, hal. 154-155

[9] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, hal. 239

[10] Ibid., 240

[11] Ibid., 240-242

[12] Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, hal. 72-73

[13] Ibid., hal. 74-76

[14] Ibid, hal. 76-77

[15] Imam Syafi’i, Al-Risalah, dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, hal. 155

[16] A. Khudori Soleh, Op.Cit., hal 248

[17] Ibid, hal 250

[18] Ibid, hal 244-245

[19] Ibid, hal 246

[20] Lebih jelas lihat Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, hal. 103-108

[21] Disini diartikan sebagai lafal yang secara pasti hanya mengindikasikan pada satu arti dan tidak dimungkinkan terjadinya ta’wil pada arti lainnya

[22] Menunjukkan lafal kepada makna dasarnya, disamping itu ada kemungkinan untuk mengartikannya dengan makna yang lain, seperti makna majaz

[23] Damanhuri, Op.Cit., 103-104

[24] M. Jamil, Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an, Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, hal. 474

[25] Damanhuri,Op.Cit., hal 16

[26] M. Jamil, Op.Cit. 474

[27] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, hal. 124-125

[28] Fazlur Rahman, Interpreting the Qur’an, dalam Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, hal. 167

[29] Damanahuri, Op.Cit., hal. 173

[30] Ibid., hal 174

[31] Ibid., hal. 182

[32] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Strukturalisme, Semantik, Semiotika Dan Hermeneutika, hal 104

[33] Ibid., hal. 93

[34] Ibid., hal. 93-94

Langit Makin Mendung


 

LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.

“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..

“Daulat, ya Tuhan.”

“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”

“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”

“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara bermekaran.”

“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”

Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”

Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.

“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”

“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.

“Tentang apa?”

“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”

“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”

“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.

“Bagaimana, ya Tuhan?”

“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”

“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”

“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”

“Dan yang mati?”

“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”

“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening sedikit mengerut.

“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”

“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”

“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”

“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”

Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh kebapaan.

“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”

“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).

“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”

“Tidak bisa mereka disogok?”

“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril serta, supaya tak sesat!”

“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).

***

Sesaat sebelum berangkat, surga sibuk sekali. Timbang terima jabatan Ketua Kelompok Grup Muslimin di surga, telah ditandatangani naskahnya. Abubakar tercantum sebagai pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.

“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril bertanya takzim.

“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Medinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Di sini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak berhingga.”

Seluruh penghuni surga mengantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari-bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan.

Nabi Adam as. sebagai pinisepuh tampil di depan mikropon. Dikatakan bahwa pengorbanan Muhammad saw. merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni surga dan bumi.

“Akhir kata saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad saw. harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, saudara-saudara para suci! Sebagai kaum arif surga, kita tak boleh melupakan perjuangan saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis di neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif, agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad. Hidup persatuan Rakyat Surga dan Bumi.”

“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.

Muhammad segera naik ke punggung buroq-kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mikraj.

Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.

Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.

“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.

“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”

“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).

“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”

“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa). Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”

Buroq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak.

Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala botak-botak di lembaga aeronetika di Siberia bersorak gembira.

“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.

Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.

“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik sedih.

Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.

“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”

“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”

“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”

“Hampir sama.”

“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”

“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”

“Adakah umatku di Malaysia?”

“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”

“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”

“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”

“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan muslimat yang tercinta. Tapi tak kulihat mesjid yang cukup besar, di mana mereka bersembahyang Jumat?”

“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”

“Aneh. Gilakah mereka?”

“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang se-agama!”

“Aneh!”

“Memang aneh.”

“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku terlalu rindu pada Medinah!”

“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”

“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku di Kairo.”

“Sesungguhnya padukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”

“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan rendah hati.

“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”

“Apa peduliku dengan nabi palsu!”

“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”

“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.

“Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih?” terdengar suara Iblis, disambut tertawa riuh rendah.

Nabi tengadah ke atas.

“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”

Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.

Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak:

“Amien, amien, amien.”

Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.

“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”

Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.

Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.

***

Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.

Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.

Kata orang, sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen Naspro mati kutu. Hanya politik-politik Cina dan tukang-tukang catut orang dalam leluasa nyomoti jatah lewat jalan belakang.

Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkam.

Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkam dipanggil menghadap Presiden alias PBR.

“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”

“Tidak, Pak.”

“Jadi tidak berbahaya?”

“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”

“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”

Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya. Flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-nyonya menteri-sampai presiden diterjang semena-mena.

Pelayan-pelayan istana geger, menko-menko menarik muka sedih karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.

Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking.

“Mohon segera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”

Kawan Mao di singgasananya tersenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakaratulmaut.

“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”

Terlampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit).

Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.

Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kyai-kyai yang hadir tersenyum-senyum kecut.

“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (Hadirin tertawa. Menertawakan kebodohan nekolim). Wah, saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-kemudu melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia ini akan gampang mereka iles-iles, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negaranya Tengku.

“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara, Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum proyek nekolim ‘Malaysia’ hancur lebur jadi debu. (Tepuk tangan lagi).”

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.

Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.

Dokter pribadinya berbisik.

“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak kumat-kumat.”

“Menyanyi! Menyanyi dong Pak!” Gadis-gadis merengek.

“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.

Siapa bilang Bapak dari Blitar

Bapak ini dari Prambanan

Siapa bilang rakyat-

Malaysia yang kelaparan …!

“Mari kita bergembira….” Nada-nada sumbang bau champagne.

Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik dengan seorang menteri.

“Gembira sekali nampaknya dia.”

“Itu tandanya hampir mati.”

“Mati?”

“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”

“Tapi kami belum siap.”

“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”

“Tunggu saja tanggal mainnya!”

“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)

Mereka berpisah.

Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam ‘Kembang Kacang’ dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.

“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.

Kemudian tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas; beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir.

Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.

Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah.

Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!

***

Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.

Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.

“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.

“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus kesal.

“Apa benar yang paduka risaukan?”

“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk umatku!”

“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”

“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”

“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”

“Buat apa?”

“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”

“Tapi tetap di luar manusia?”

“Ya, untuk mengikuti gerak hati dan pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”

“Aku tahu!”

“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”

“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu Jibril. Mari kita keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”

Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.

Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum.

Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap seng, sementara Jibril membuat lingkaran manis di atas gerbong-gerbong kereta daerah planet.

Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

Di kamar lain, bandot tua asyik… di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan … dihimpit sibuk cari … dan … lagu melayu.

Hansip repot-repot …

“Apa yang Paduka renungi.”

“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.

“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.

“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, laangkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”

“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”

“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”

“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”

“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.

“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”

“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”

“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :

Pelacur-pelacur kota Jakarta

Naikkan tarifmu dua kali

dan mereka akan kelabakan

mogoklah satu bulan

dan mereka akan puyeng

lalu mereka akan berzina

dengan istri saudaranya

“Penyair gila! Cabul!”

“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.

Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.

“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”

“Orang tadi mencuri tidak?” Pandangan Nabi penuh selidik.

“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”

“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”

“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”

“Toh, bisa diimpor!”

“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”

“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”

“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”

“Negara kapir itu?”

“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar.”

“Sama jahat keduanya pasti!”

“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”

“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.

“Ya, dunia sudah tua!”

“Padahal Kiamat masih lama.”

“Masih banyak waktu ya, Nabi!”

“Banyak waktu untuk apa?”

“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”

“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”

Kedua elang terbang di gelap malam.

“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”

“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”

Sebentar kemudian di atas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.

“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”

“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”

“Sebetulnya siapa menurut kamu?”

“Dia hanya Togog. Begundal raja-raja angkara murka.”

“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”

“Dokumen.”

“Dokumen?”

“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”

“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”

“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”

“Ooh.”

Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu.

Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.

“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengaman Baginda Raja.”

Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.

“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”

Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda Tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya.

Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!

“Apa kabar Yang Mulia Togog?”

“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD.”

“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris…?”

“Baik, baik Yang Mulia” Pura-pura ketakutan.

“Nah, kan begitu. BPI-Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!”

“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”

“Jadi kapan selesai?”

“Seminggu lagi, pasti beres.”

“Kenapa begitu lama?”

“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif.”

“Bagus, kau rajin meng-up-grade otak. Soalnya begini, saya mesti lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR. Gimana?”

“Besok juga bisa, asal uang lembur…,” sembari membuat gerak menghitung uang dengan jari-jarinya.

Togog meluruskan seragam-dewannya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.

“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”

“Siapa mereka?”

“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas toh?”

Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.

Syahdan desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kakerlak-kakerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.

“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”

***

Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.

Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.

Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu berdua di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.

“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.

“Akh, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”

“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”

“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”

“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”

“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”

“Apa katanya?”

“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid…!”

“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel –. Dia tidak berbahaya lagi.

“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”

“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”

“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita– kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”

“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”

“Kenapa begitu?”

“Formil kita berhadapan dengan Inggris-Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRC lainnya mengancam kita!”

“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara cemas.

“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. “

Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran.

Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.

“Togog, panggil Duta Cina kemari. Sekarang!”

“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”

Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia cuma pakai piyama, mulutnya berbau angciu dan keringatnya berbau daging babi.

“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.

“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti tuh?”

“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”

“Gimana ini, Togog?”

“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.

“Jelasnya?” tanya PBR dan Duta Cina serentak.

“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”

“Kami tidak memaksa, Bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”

“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”

“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”

“Nekad bagaimana?” Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.

“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-cina WNA.” Menggertak.

“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”

“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”

“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”

PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkul-rangkulan.

“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”

“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”

“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang malaysia?”

“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRC.”

“Yani ragu-ragu?”

“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”

“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”

“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”

“Bagaimana itu?”

“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”

Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisia buatan Togog.

Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang haus, penjual obat pinggir jalan, ia berpidato. Ia sering lupa mana propaganda dan mana hasil gubahan sendiri.

“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah… dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara. Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.

“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara.”

Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.

Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempuan-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.

Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.

Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti melek politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.

“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”

“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”

“Pak Yani, tentu.”

“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”

“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.

“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”

“Dia nggak takut mati?”

“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia ganyang!” suara sember menyela lagi.

Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.

***

Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.

“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik ngobyek cari rejeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.

Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya tekstil, korek api, senter, sandal, pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.

Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras.

“Padahal saudara-saudara. Saya tahu banyak sekali makanan bervitamin selain beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot, dan bahkan kadal justru obat eksim yang paling manjur. Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”

“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.”

Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.

Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.

Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi. ***

(Dikutip dari: Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin: 17-41, 2004, MELIBAS: Jakarta).

Dicopy dari https://kangpanut.wordpress.com/2008/11/08/langit-makin-mendung-2/