Monthly Archives: November 2019

Telaah Takwil bi al-Isyarah


Makalah ini telah dipresentesaikan pada kelas Kaidah Tafsir, Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Pascasarjana IAIN Kediri. Untuk mendapatkan filenya silahkan klik

Pendahuluan

Proses memahami Al-Qur’an telah terjadi sejak masa Nabi hingga sekarang ini. Proses pemahman yang berkelanjutan ini, bukan menunjukkan Al-Qur’an tidak dapat dipahami, ataupun bahwa masyarakat Islam tidak mampu memahami Al-Qur’an. Namun, sebagaimana pernyataan Abdullah Darraz, Al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.[1]

Proses memahami Al-Qur’an, pada umumnya merujuk kepada istilah tafsir, yang mana pada perkembanganya istilah ini mempunyai dua metode, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yu. Pada catatan sejarah, dikenal juga istilah takwil, sebagaimana doa Nabi Saw., kepada Ibnu Abbas, اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ. Sebagian ulama, mengkaitkan istilah takwil dengan konsep ayat mutasyabihat, sebagaimana menafsirkan QS. Ali-Imran ayat 7.

Para ulama setelah abad ke-3 H, memiliki dua pandangan berbeda terhadap penggunaan takwil. Pandangan pertama sangat ketat dalam penggunaannya dan hampir tidak pernah menggunankanya. Mereka beranggapan bahwa tidak ada celah untuk menampilkan sesuatu yang baru atau berbeda dari para pendahulu, seluruh makna al-Qur’an telah dijelaskan oleh para pendahulu. Pandangan yang kedua sangat longgar penggunaanya, sehingga mengaggap bahwa Al-Qur’an terbuka seluruhnya untuk ditakwilkan. Setiap orang berwenang untuk melakukan ta’wil, meskipun tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an atau prinsip-prinsip pentakwilan.[2]

Instrument yang digunakan dalam penafsiran, umumnya merujuk kepada naql dan aql. Namun, terdapat satu instrument lagi yang dikenal yaitu isyarah atau intuisi. Pada instrument ini, terdapat sebuah klaim, bahwa pemahaman yang didapatkan merupakan pemberian langsung dari Allah. Hal ini tentu menjadikan para ulama tafsir berbeda pandangan dalam menanggapinya, sebagaimana perdebatan terhadap tafsir bi al-ra’yu. Pada sisi lain, ketidakpuasan atas ibadah lahiriyah, dapat diisi dengan pemahaman yang berasal dari para pelaku tasawuf, atas penakwilannya terhadap Al-Qur’an. Berdasarkan hal tersebut, penyusun akan memberikan gambaran tentang takwil bil isyarah, dengan harapan dapat memasukkan tafsir tersebut dalam penakwilan yang selamat atau tercela.

Takwil dan Tafsir

Takwil ( تأوويل ) bersal dar bahasa Arab, diambil dari kata aul ( اول ) yang bermakna kembali dan kesudahan atau akibat. Para ulama salaf mengartikan takwil dengan dua pengertian, pertama, kalam tersebut kembali kepada makna hakiki yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud pembicara, kedua, dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Sedangkan dalm tradisi muta’akhirin, menakwilkan berarti memalingkan makna lafad yang kuat kepada makna yang lemah karena ada dalil yang menyertainya. [3] Sedikit berbeda dengan pengertian tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa menakwilkan berarti menjadikannya berbeda dari semula, takwil adalah mengembalikan makna kata/kalimat ke arah yang bukan arah makna harfiahnya yang dikenal secara umum.[4]

Proses pentakwilan terjadi dalam dua tahap, pertama, pengembalian ke dalam benak untuk mengetahui maknanya yang popular. Kedua, makna yang tergambar pada benak dikembalikan lagi ke makna lain, sehingga makna kedua bersumber dari makna pertama. Kalimat “dia duduk di kursi yang basah”, menggambarkan dalam benak, seseorang yang sedanng duduk dalam tempat yang terkena air. Namun karena adanya indikator yang menghalangi pengertian tersebut, maka akan dimaknai kembali dengan memahaminya sebagai “berada dalam satu jabatan yang menyenangkan”. Terdapat juga yang memahami “pengembalian” itu dalam arti pembicara sebenarnya sejak semula telah bermaksud dengan ucapannya dengan makna tertentu. Maka dengan menakwilkan akan mengembalikan makna kata ke dalam makna yang dimaksud pembicara. Takwil dalam hal ini dipahami juga sebagai, “mengungkap makna yang tersembunyi”.[5]

Penggalian makna dengan meninggalkan takwil terhadap sebuah ayat al-Qur’an, meskipun telah jelas makna kosakatanya, terkadang mengalami kekaburan. Makna yang lahir dari proses tersebut kadangkala bertentangan dengan akidah maupun logika yang benar. Menyingkapi hal tersebut, terdapat dua jalan yang dapat ditempuh,

  1. Menakwilkannya, karena jika tidak ditakwilkan, penafsir akan berpotensi besar melakukan kekeliruan dalam memberikan makna, bahkan menyimpang dari makna yang sebenarnya.
  2. Tidak membahasnya sama sekali, dengan menyerahkan kepada Allah tentang makna yang terkait. Sebagaimana jawaban Imam Malik, terhadap makna QS. At-Thaha: 5.

Mengomentari kedua sikap tersebut, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa sikap yang kedua tidak akan memuaskan nalar, sehingga para ulama pada akhirnya merestui penggunaan takwil dengan menggarisbawahi syarat-syarat penggunaanya. Kemudian menukil definisi yang dikeluarkan oleh Abu al-Qasi bin Habi an-Naisabury, takwil adalah mengalihkan makna ayat ke makna yang sesuai dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya, yakni makna yang dapat ditampung olehnya, tanpa bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, pengalihan itu berdasar istinbath. Seorang penakwil tidak saja dituntut menguasai tafsir, tetapi juga istinbath. Penakwilan tanpa menguasai syarat-syaratnya, misalnya penguasaan ilmu bahasa, akan digiring oleh kedangkalan pengetahuaannya atau subyektivitasnya dalam mengalihkan makna ayat sesuai dengan prakonsepsinya.[6]

Para ulama ada yang mempersamakan tafsir dan takwil, ada juga yang membedakannya. Dinyatakan bahwa tafsir berkaitan dengan lafad/kosakata, sedang takwil berkaitan dengan kalimat/susunan. Tafsir berkaitan dengan riwayat, sedang takwil dengan dirayat, yakni pengetahuan, nalar dan analisis. Tafsir adalah mendengar dan mengikuti, sedang takwil adalah ber-istinbath, menggunakan nalar untuk mencapai kesimpulan.[7]

Pengertian mengenai takwil, seperti dipaparkan, mengalami perkembangan dan perbedaan. Setidaknya ada tiga pengertian yang bisa kami sederhanakan, yaitu,

  1. Takwil adalah tafsir, dalam hal ini takwil adalah tafsir bi al-ra’yu
  2. Takwil adalah makna esensi, subtansi makna, pengembalian makna kepada maksud pengucap atau penulis
  3. Takwil adalah pemalingan makna dari makna kuat atau popular kepada makna yang lemah atau tidak popular
  4. Anwar Syarifuddin, memberikan pandangan tentang adanya penyempitan ruang gerak terhadap takwil dengan standarisasi. Tafsir adalah formal dan terpuji, sedangkan takwil adalah tidak formal dan tercela. Hal ini pada dasarnya adalah merujuk kepada peranan aql dalam menafsirkan, terdapat kecenderungan untuk mengkultuskan tafsir yang bersandar kepada naql dan merendahhkan takwil yang bersandar pada aql.[8]

Nasr Hamid memberikan pandangan yang serupa, dengan memaralelkan kepada wacana politik praktis. Takwil dalam pemikiran agama resmi, doktirn islam yang diakui, telah berubah menjadi istilah yang dibenci demi istilah tafsir. Pemikiran pihak oposisi dicap sebagi takwil, sedangkan penakwilan yang dilakukan oleh pemikiran resmi disebut sebagai tafsir, bertujuan untuk menyematkan objektivitas dan kebenaran mutlak terhadap takwil tersebut.[9]

Takwil dan Majaz

Bahasa Arab, yang merupakan bahasa Al-Qur’an, sebagaimana bahasa lain mengenal penggunaan majazi dalam kesehariannya. Pengertian majaz, dapat dirumuskan dalam beberapa definisi[10],

  1. Lafad itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya, sebagaimana dikehendaki suatu bahasa.
  2. Lafad dengan bukan menuruti arti yang sebenarnya itu dipinjam, untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud.
  3. Antara sasaran dari arti lafad yang digunakan dengan sasaran yang dipinjamkan dari arti lafad, memiliki keterkaitan.

Pendefinisian tersebut memuat kaidah-kaidah yang dilakukan dalam menentukan makna majazi. Pengungkapan makna majaz harus melalui tanda-tanda/dalil-dalil yang terdapat dalam teks maupun konteks, yang biasa dikenal dengan istilah qorinah. Selain itu, dalam pemilihan makna majazi, diharuskan juga terdapat ‘alaqah/keterkaitan antara makna hakiki dan makna majazi.

Para ulama mempunyai perbedaan pendapat tentang adanya makna majazi dalam Al-Qur’an. Setidaknya terdapat empat pandangan berbeda[11],

  1. Pandangan yang menolak adanya majaz secara mutlak dalam Al-Qur’an
  2. Pandangan yang menyatakan adanya majaz dalam Al-Qur’an, namun menolak adanya majaz dengan hal-hal yang berkaitan dengan sifat Allah
  3. Pandangan yang menyatakan adanya majaz dalam Al-Qur’an, baik berkaitan dengan sifat Allah maupun tidak
  4. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap ibarah/idiom dalam bahasa adalah majazi, bukan hakiki

Pembagian di atas, sejalan dengan pembagian yang dirumuskan oleh beberapa ulama kontemporer, namun dalam pandangan ini terdapat tiga kecenderungan,[12]

  1. Kecenderungan Mu’tazilah, yang menggunakan majaz secara dogmatis ajaranya. Kelompok ini berpandangan bahwa bahasa merupakan kuasa manusia.
  2. Kecenderungan Dhahiriyah, yang menolak keberadaan majaz. Bagi kelompok ini, bahasa adalah pemberian Allah kepada manusia, hal-hal yang tidak jelas dalam Al-Qur’an hanya Allah yang mengetahui.
  3. Kecenderungan Asyariyah, yang memposisikan diri secara moderat di antara kelompok yang berlebih-lebihan menggunakan majaz dan yang menolak majaz. Menurut kelompok ini, bahasa merupakan kreativitas manusia, namun tak dapat dipungkiri, bahwa Allah pun berperan dalam hal ini.

Penerimaan adanya majaz dalam Al-Qur’an, mengakibatkan pengakuan adanya takwil dalam tafsir, namun bukan berarti secara leluasa dalam penggunaannya. Kelompok al-Asyariyah, misalnya, meskipun mengakui adanya takwil, namun dalam penerapannya memberikan syarat yang ketat, hingga memberikan ruang yang sempit terhadap takwil. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah adanya perbedaan sikap mengenai hakikat dan majaz. Hakikat adalah ashl, sedangkan majaz adalah far’.

Syarat-Syarat Takwil

Mufassir bekerja dalam batas-batas ilmu Al-Qur’an dan bahasa. Ilmu-ilmu al-Qur’an berkaitan erat dengan teks karena membicarakan berbagai aspek teks, sedangkan ilmu bahasa dengan segala cabangnya sangat penting bagi kajian seuruh teks bahasa. Berbekal pengetahuan tersebut, seta penguasaannya dengan baik, pembaca akan mampu menyingkap makna teks, beralih posisi dari tingkatan pembaca menjadi seorang mufassir. Langkah berikutnya, apabila menemukan dimesni semantic yang lebih dalam, makan akan  memerlukan gerak takwil, setelah mufassir dengan segala perangkatnya menguras segala kemungkinan makna.[13]

Sejalan dengan hal itu, sebagaiman dikutip M. Quraish Shihab, Nasr Hamid menyatakan bahwa, takwil yang tidak berdasar pada tafsir adalah takwil yang tertolak lagi buruk. Karena Istinbath tidak sekedar berdasar perkiraan, tidak juga memaksakan teks untuk tunduk pada dorongan nafsu atau idiologi. Istinbath harus berdasar kepada hakikat teks dari satu sisi dan penegertian kebahasaan dari sisi lain, lalu setelah itu menuju makna yang lebih dalam tanpa melakukan loncatan yang bertentangan dengan teks.[14]

Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa untuk menjadi seorang penakwil, harus terlebih dahulu menjadi seorang mufassir. Maka dalam hal ini yang dipakai adalah syarat-syarat seorang penafsir. Imam al-Syuthi memberikan perincian yang jelas mengenai syarat-syart tersebut[15]:

1.      Ilmu bahasa Arab, terkait dengannya makna secara kebahasaan dan musytarak-nya

2.      Ilmu nahwu

3.      Ilmu sharaf

4.      Pengetahuan tentang isytiqaq

5.      Ilmu alma’aniy

6.      Ilmu albayan

7.      Ilmu albadi’

8.      Ilmu alqira’at

 

9.      Ilmu ushul aldin

10.  Ilmu ushul fiqh

11.  Asbab annuzul

12.  Naskh dan Mansukh

13.  Fiqih

14.  Hadits-hadits yang berkaitan dengan penafsiran

15.  Ilmu alMauhibah, disitilahkan oleh sebagian ulama dengan shihah alaqidah

 

Menanggapi beberapa syarat tersebut, M. Quraish Shihab memberikan beberapa catatan dan sebab-sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan. Catatannya adalah[16]:

  1. Syarat-syarat tersebut ditujukan kepada seseorang yang akan menampilkan pendapat baru berdasar analisanya
  2. Syarat-syarat tersebut adalah bagi mereka yang akan menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an
  3. Sebagian syarat, perlu diberi pemaknaan yang berbeda, seperti shihah alaqidah, bisa diberikan pemaknaan dengan objektivitas

Adapun sebab-sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan adalah[17]:

  1. Subjektivitas
  2. Tidak memahami konteks, baik sejarah maupun hubungan ayat
  3. Tidak mengetahui siap pembicara atau mitra dan siapa yang dibicarakan
  4. Kedangkalan ilmu-ilmu alat
  5. Kekeliruan menerapkan metode dan kaidah
  6. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian ayat

Menyangkut kemudian permasalah sebuah takwil bisa diterima atau tidak, terdapat perkembangan ketetapan. Pada ketetapan pertama, takwil bisa diterima selama makna yang dipilih telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya al-Qur’an. Ketetapan kedua memperingan dengan menghapus kalimat secara luas. Dan dalam ketetapan ketiga menyatakan bahwa selama makna yang dipilih dapat ditampung oleh akar kata lafad.[18] Sebagian pakar juga menyebutkan bahwa takwil terdiri dari empat unsur yang menyatu,

  1. Nash dengan makna syaria’ah-nya
  2. Maqashid alSyari’ah yang dikandung nash
  3. Kondisi yang dibicarakan nash
  4. Wawasan luas pentakwil

Wawasan luas bukanlah bermaksud kebebasan berpikir tanpa rambu dan batas, namun tetap terbatasi oleh kebahasaan dan maqashid alsyariah. Salah satu kaidah dalam konteks takwil adalah, setiap hasil pentakwilan yang bertentangan dengan maqashid al-syariah tidak dapat diterima.[19]

Tafsir bi al-Isyarah

Definisi mengenai tafsir bil Isyarah sangat beragam, diantaranya yang lebih rinci adalah defines yang dikemukakan ‘Ali al-Sabuni[20],

هوَ تَأْوِيْلُ الْقُرْأَنِ عَلَى خِلَافِ ظَاهِرِهِ لِإشَارَاتِ خَفِيَّةِ تَظْهِرُ لبَعْضِ أُوْلىِ العِلْمِ أَوْ تَظْهِر للعَارِفيْنِ باِللهِ مِنْ اَرْبَابِ السُلُوْكِ والمجاَهَدَةِ لِلنَّفْسِ مِمّنْ نوَّرَ اللهُ بَصَائِرَهُمْ فأَدْرَكُوْا أَسْرَارَ القُرْأَنِ العَظِيْمِ اَوْ نقدحت فيِ أذْهَانِهِمْ بعَض المعانيِ الدَقِيقَةِ بِوَاسِطَةِ الإِلهامِ الإِلهي اَوِ الفَتْحِ الرَبَانِي مَعَ امْكَانِ الجَمْعِ بينَهَا وَبينَ ظَاهرِ المرَادِ مِنَ الأَيَاتِ الكَرِيمةِ

Men-takwil-kan al-Qur’an berbeda dengan dzahirnya, tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi orang yang memiliki ilmu laduni atau orang-orang yang arif billah, seperti ahli suluk dan bermujahadah dengan menundukkan nafsunya, sehingga mereka memperoleh cahaya Allah yang menyinari serta menembus rahasia al-Qur’an al-Adzim. Atau mereka yang telah digoresi fikirannya dengan sebagian makna yang dalam, melalui ilham ilahi atau fathi rabbani yang memungkinkan baginya untuk memadukanya dengan dzahir yang dimaksud dari ayat-ayat yang mulia.

Definisi tersebut memuat beberapa karateristik tafsir bil isyarah, yaitu, menggunakan metode takwil, berdasarkan isyarat khafiyyah dan dilakukan oleh arbab suluk/sufi. Pengetahuan para sufi tidak berdasarkan teks, akan tetapi berdasar kepada isyarat khafiyyah, intuisi yang dikaruniakan Allah kepada seseorang dan dipatrikan ke dalam qalb-nya, sehingga tersingkap olehnya sebagian rahasia dan realitas.[21] Untuk itu diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seorang sufi mampu menerima limpahan pengetahuan tersebut. Setidaknya terdapat tujuh tingkatan (maqamat) yang harus dilalui,

  1. Taubat. Pada mulanya taubat atas perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah dan taubat dari klaim bahwa telah taubat
  2. Wara’ secara lahir dan batin
  3. Zuhud
  4. Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali Allah.
  5. Sabar, rela menanggung beban dan kesulitan semata demi ridha Allah
  6. Tawakkal dalam hati
  7. Ridha, hilangnya rasa ketidaksenangan terhadap apa yang diberikan oleh Allah

Setelah mencapai tingkatan tertentu dalam olah spiritual, seorang sufi akan mendapatkan limpahan pengetahuan dari Allah secara illuminatif. Pada tahap ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesdaran diri yang demikian mutlak, sehingga mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai obyek yang diketahui.[22]

Aliran tasawuf secara umum terbagi dalam dua aliran, aliran nadhariy dan ‘amaliy. Aliran nadhariy, berusaha membangun faham tasawufnya berdasarkan teori dan doktrin filsafat. Mereka mengkaji al-Qur’an, sejalan dengan teori dan sesuai dengan doktrin mereka. Aliran ‘amaliy, mempraktekkan hidup zuhud dan tidak melandasi dengan teori-teori aliran nadhariy. Mereka menafsirkan al-Qur’an berbeda dengan makna dhahir-nya, berdasarkan isyarat yang diterima. Dua aliran inilah yang kemudian memberikan warna dalam penafsiran bil isyarah.[23]

Prespektif tafsir bi alisyarah mengenal adanya empat kategori makna yang biasa dikenal dengan qanun al-tarbiy li takwil al-sufiy. Mencakup diantaranya, dhahir (objektif), bathin (subjektif), had (intersubjektif) dan matla’ (interobjektif).  Kategori dhahir adalah makna yang dipahami oleh kalangan awam, semantara had adalah makna yang terkait hukum. Sedang bathin adalah makna kiasan dan matla’ adalah dimensi hakikat. Hal ini disandarkan pada hadits,

لكل اية ظهر وبطن ولكل حرف حد مطلع

Hadits tersebut merupakan hadits yang popular dalam tradisi sufisme, syi’ah dan kelompok isma’iliyyah. Tradisi sufi, baik nadhariy maupun isyariy, berawal dari pemahaman bahwa al-Qur’an mempunyai beberapa level makna. Manusia mempunyai potensi untuk menyingkap makna tersebut dan penafsiran adalah tidak terbatas.[24] M. Anwar Syarifuddin, kemudian menyajikan sebuah table mengenai empat kategori tersebut,

Al-Qur’an Dhahir Tilawah Muhkam Ma’arafahu al-arab Praktikal
Had Halal wa Haram Halal Al-halal wa al-haram Legal
Haram
Batin Fahm (takwil) Amtsal Ma’arafahu al-‘ulama Metaforikal
Matla’ Isyaraf al-qalb ‘ala al-murad biha Mutasyabih Ma la ya’lamu ta’wilahu illa Allah Testimonial

Tidak semua orang dengan kapasitas intelektual, mampu menelaah seluruh makna dari emapt kategori tersebut. Dua aspek pemahaman yang berlaku umum dan sepatutnya diketahui sebgai panduan hidup manusia adalah aspek praktikal dan legal. Hanya beberapa kalangan tertentu saja seperti kalangan ulama dan para sufi, yang mampu menyelami aspek metaforikal dan testimonial. [25]

Penekanan tafsi bi al-isyarah pada dimensi isyarat-isyarat yang diperoleh secara batin, sebenarnya bukan berarti tidak dapat diukur. M. Quraish Shihab menyatakan, bahwa tafsir ini dapat dibenarkan dengan ketentuan-ketentuan[26]:

  1. Maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat keagamaan dan lafad ayat
  2. Tidak menyatakan bahwa itulah satu-satunya makna
  3. Ada korelasi anatara makna dengan ayat
  4. Sebagian ulama menambahkan dengan, adanya dukungan ajaran agama terhadap makna tersebut

Thaher bin ‘Asyur, mengemukakan bahwa isyarat-isyarat yang dikemukakan tidak keluar dari tiga macam, yaitu:

  1. Merupakan sesuatu yang serupa keadaannya dengan apa yang dilukiskan ayat
  2. Isyarat yang kahir merupakan dorongan prasangka baik dan optimism, karena bisa jadi ada satu kalimat yang darinya terlintas satu makna, tapi bukan itu yang dimaksud oleh kalimat.
  3. Isyarat berupa hikmah dan pelajaran yang selalu ditarik oleh orang-orang yang ingat, sadar dan menarik hikmah dari apa saja yang terbentang.

Setelah mengemukakan ketiga hal tersebut, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa, setiap isyarat yang melampui ketiga makna tersebut, maka akan mengarah sedikit demi sedikit kearah penafsiran bathiniyyah.[27]

Takwil yang tercela

Takwil yang tertolak dalam lingkupan tafsir bi al-isyarah adalah tafsir bathiniyah. Istilah bathiniyah dalam hal ini, tidak lagi merujuk kepada tafsir bi al-isyarah secara umum, tapi praktek pemaknaan dengan mengambil makna isyaratnya saja dan tidak mengakui makna lahiriah. Atau setidaknya menyatakan bahwa, makna lahiriah lafad adalah untuk orang awam, sedangkan makna batinnya untuk orang-orang khusus.[28] Sedangkan, seperti yang dipaparkan sebelumnya, selamatnya tafsir bi al-isyarah adalah karena para sufi tidak menafikan sama sekali kandungan makna dhahir, tetapi lebih jauh mereka menggunakan makna dhahir ini untuk sampai pada makna bathin.[29] Sebagaimana penafsiran terhadap QS. Al-Taubah: 60,

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…”

Ayat ini berbicara tentang mustahiq zakat, tetapi sebagian kaum sufi, disamping memahaminya demikian, juga memahaminya sebagai isyarat. Siapa yang ingin memperoleh karunia Allah ke dalam hatinya, maka hendaklah ia menjadi fakir kepada Allah.[30]

Tradisi Syi’ah menyakini bahwa al-Qur’an berisi ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, yang masing-masing memiliki takwil. Kemudian yang mempunyai otoritas untuk mentakwilkan adalah Nabi Muhammad dan para imam ahlul bait. Mereka inilah yang dapat menyentuh dan meraih hakikat makna al-Qur’an di lauh almahfudz. Namun pada akhirnya, hasil penakwilan yang mereka adalah penakwilan yang menguatkan kedudukan, unsur-unsur subjektif terlihat jelas dalam hal ini.[31] Seperti contoh penakwilan mereka terhadap“aimmata al-kufr”, pada QS. Al-Taubah: 12, dalam pandangan mereka adalah Talhah dan Zubair,

وَإِن نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُم مِّنۢ بَعۡدِ عَهۡدِهِمۡ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمۡ فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلۡكُفۡرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيۡمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ ١٢

“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”

Penutup

Takwil kurang begitu disukai oleh ulama adalah karena penggunaannya yang secara berlebihan dan tidak mengikuti kaidah. Penakwilan seperti itu terlihat ketika para aliran kalam, yang memaksakan prakonsepsi dan idiologinya terhadapa penakwilan ayat. Penggunaan aql sebagai satu-satunya alat untuk menafsirkan, tentu tidak diperbolehkan atau tafsirnya tertolak, seiring dengan harusnya pemenuhan syarat-syarat penafsiran. Takwil maupun tafsir bi alra’yu, pada dasarnya bukanlah mengunggulkan aql terhadap naql, tetapi bagaimana mengkolaborasikan keduanya, sehingga mampu menghasilkan makna baru yang sesuai dengan norma-norma agama.

Takwil bi al-isyarah yang dilakukan oleh para sufi, pada akhirnya merupakan takwil yang selamat, asalkan memenuhi kriteria-kriterianya. Tidak setiap penafsir mampu memenuhi kriteria penakwil, begitu juga tidak setiap penakwil mampu melakukan takwil bi al-isyarah. Walaupun melalui metode isyarah batiniyah, bukan berarti secara ilmiah takwil ini tidak bisa diukur. Korelasi antara makna dengan ayat serta tidak adanya pertentangan antara makna dengan agama dan lafad ayat adalah salah satu cara menilai takwil ini. Tidak setiap tafsir bisa diterima dan tidak setiap takwil dapat ditolak. Kita yang mengikuti agama, bukan agama yang mengikuti kita. Wallahu A’lam.

Daftar Pustaka

Al-Buyumi, Muhammad Rajab, Khutuwat al-Tafsir al-Bayan, Juz 2

Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bandung: PT. PustakaLitera AntarNusa, 2006

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016

_____, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: LKiS, 2003

Baidan, Nasaruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016

Kholis Setiawan, M. Nur, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007

_____, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Penerbit Lentera Hati, 2015

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: KENCANA Prenamedia Group, 2014

Wahyudi, Ta’wil Sufi al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an (Studi Komperatif),  Tesis, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2017

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 107.

[2] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 224

[3] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hal. 457-459

[4] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 219

[5] Ibid, hal. 219-220

[6] Ibid, hal. 221-222

[7] Ibid, hal. 220

[8] M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jurnal Studi Agama dan Masyaraat, Vol. 1, No. 2, Desember 2004, hal. 5-7

[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, hal. 273

[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, hal. 33

[11] Muhammad Rajab al-Bayumi, Khuthuat al-Tafsir al-Bayani, hal. 133

[12] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hal. 181-182

[13] Nasr Hamid, hal. 296-297

[14] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 223

[15] Ibid, hal. 395-396

[16] Ibid, hal. 397

[17] Ibid, hal. 398-399

[18] Ibid, hal. 224-225

[19] Ibid, hal. 225

[20] Wahyudi, Ta’wil Sufi al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’an (Studi Komperatif), Tesis, UIN Sunan Ampel, 2017, hal. 22-23

[21] Ibid, hal. 32

[22] Ibid, hal. 33-36

[23] Ibid, hal. 39

[24] Ibid, hal. 42-44

[25] M. Anwar Syarifuddin, hal. 9

[26] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 370

[27] Ibid, hal. 371-373

[28] Ibid, hal. 373

[29] M. Anwar Syarifuddin, hal 11

[30] M. Quraish Shihab, Kaidah, hal. 369-370

[31] Mohamad Dzikron, Kontruksi Takwil dalam Prespektif Syiah, Jurnal Tarjih, Vol. 11, No. 1, 2013, hal. 27-28