Tag Archives: abdurrahman wahid

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA


Latar Belakang.
Hukum Islam bukanlah ajaran kaku yang tetap seperti sedia kala. Namun hukum Islam bersifat elastic dimanapun ia berpijak maka dapat menyesuaikan dengan keaadaan, tak ayal jika Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, memaparkan satu Qaidah “Perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat kebiasaan”. dari ini kiranya dapat dipahami bahwa hukum Islam yang berlaku disatu daerah belum tentu dapat diaplikasikan pada daerah yang lain, mengingat perbedaan keadaan.
Perbedaan masa juga dapat menimbulkan perbedaan aplikasi hukumnya, sebut saja pemutusan hukum yang banyak dilakukan oleh Umar bin Khattab. Umar banyak memutuskan perkara menyimpang dari hukum yang berlaku pada masa Abu Bakar dan Nabi, semisal pemberhentian pemberian zakat kepada muallaf. Jadi embrio gagasan-gagasan yang mengajak untuk merelevankan ajaran Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat sudah hadir sejak Islam datang, sebagaimana pemikiran-pemikiran Umar.
Jika kita merefleksikan sejenak terkait ajaran yang dijalankan dalam Islam, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa diantara ajaran Islam terdapat berbagai macam ajaran hasil adopsi dari ajaran terdahulu yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keserasian umat ketika itu. Seperti poligami, merupakan suatu bentuk pernikahan yang memperbaiki beberapa bentuk pernikahan yang dianggap tidak manusiawi dan penentuan waris banding satu, adalah aturan yang dianggap sebagai jembatan, pasalnya pra Islam datang kaum perempuan tak mendapatkan bagian dalam harta warisam.
Pembaruan ajaran Islam di negeri ini sudah sering kita dengar pada era 80an yang digulirkan oleh para cendekiawan Islam pada saat itu. Sebut saja Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Amin Rais. Tidak ketinggalan juga yang ikut meramaikan wacana pembaharuan ini adalah Munawir Sjadzali, yang pada waktu itu sedang menjabat Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode (1983-1988 dan 1988-1993).
Reaktualisasi hukum Islam, inilah yang didegung-dengungkan oleh Munawir Sjadzali, sebagai tokoh agamawan dan negarawan. Pemikiran beliau tidak hanya berkutat pada ranah agama saja, namun pemikiran beliau juga merambah pada ranah Negara, yang masih banyak menyangsikan antara hubungan Negara dan agama. sehingga beliau memetakan menjadi tiga aliran besar yang membahas terkait denganya.

Rumusan Masalah:
1) Mengapa konsep Reaktualisasi Hukum Islam dilahirkan oleh Munawir Sjadzali?
2) Bagaimana konsep Reaktualisasi Ajaran Islam?
3) Bagaimana System Pembagian Waris Menurut Munawar Sjadzali?
Tujuan.
1) Untuk Memahami factor yang melatar belakangi Lahirnya Reaktualisasi Hukum Islam.
2) Supaya mengerti Konsep Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam pandangan Munawir Sjadzali.
3) Untuk Mengetahui Sistem Pembagian Warisan menurut Munawir Sjadzali.

II. Pembahasan.
a. BIOGRAFI
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (lahir di Klaten, Jawa Tengah 7 November 1925 – Jakarta, 23 Juli 2004) adalah mantan Menteri Agama pada masa Kabinet Pembangunan V. Ia merupakan Ketua Komisi Hak Asasi Manusia pertama di Indonesia. Selesai SMP, ia meneruskan ke Pesantren Membaul Ulum dan Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo hingga tamat tahun 1943. Kemudian, ia mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran, tahun 1944 hingga era revolusi kemerdekaan ia ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan sebagai perwira penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah di Salatiga dan Badan Kelaskaran Islam.
Selanjutnya Munawir memperoleh pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/Timur Tengah Departemen Luar Negeri (1950). Ia mengambil kursus diplomatik dan konsuler serta mendalami ilmu politik dan hubungan internasional di Inggris. Lalu ia menjadi Atase atau Sekretaris III Kedutaan Besar Indonesia di Washington AS (1956-1959). Pada masa ini, ia menyempatkan diri untuk melanjutkan studinya lagi di Georgetown University, Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art bidang Filsafat Politik dengan tesis “Indonesia’s Moslem Parties and Their Political Concepts” (1959). Kemudian ia menjabat dan Kepala Bagian Amerika Utara, Departeman Luar Negeri (1959-1963).
Setelah mandapat gelar master, ia dipercaya menjabat Setiausaha Pertama, Kedutaan Besar Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965-1965). Lalu menjabat Kuasa Usaha, Kedutaan Besar Indonesia di Sri Lanka (1965-1968). Kemudian ia kembali ke Jakarta untuk menjabat Kepala Biro Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Departemen Luar Negeri (1969-1970). Selanjutnya ia bertugas di Kedutaan Besar Indonesia di London (1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro Umum, Departeman Luar Negeri (1975-1976).
Munawir diangkat menjabat Duta Besar di Uni Emirat Arab, Bahrain dan Qatar (1976-1980), sebelum kembali ke Jakarta menjabat Direktur Jenderal Politik Departmen Luar Negeri (1980-1983). Kemudian diangkat menjadi Menteri Agama Indonesia di masa Kabinet Pembangunan V (1983-1993). Selepas itu, ia mengakhiri karir dan pengabdiannya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998).
Sebagai seorang negarawan dan ilmuan, Munawir berusaha mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya hanya terbagi dalam dua bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Karya ilmiah yang pernah dihasilkannya seperti Islam dan Tatanegara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Islam : Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, dan Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam.
Munawir Sjadzali meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20. Jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman keluarga Giritama, Bogor, Jawa Barat, hari Sabtu tanggal 24 Juli 2004. Alamat Rumah : Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
b. Kegelisahan Akademik.
Pemikiran Munawir Sjadzali, merupakan buah dari kegelisahan yang dirasakan, dengan Melihat fenomena masyarakat yang ambiguitas, untuk menghilangkan kesan itu, Munawir mencoba mengaktualkan ajaran Islam tersebut setelah melihat dan mendengar realitas masyarakat Islam Indonesia yang mengakui terhadap ajaran Islam yang telah ditentukan, namun di sisi lain, dalam kenyataannya mereka tidak mengamalkan ajaran itu. Sederhanya mereka bersikap ambivalen akan hukum Islam itu sendiri. Dimana disatu sisi mereka kurang menyukai doktrin lama sekalipun mereka tidak berani memodifikasi atau meninggalkanya, namun disisi lain, secara sembunyi-sembunyi mencari celah yang dapat melegitimasi akan kehendaknya.
Dari itu Munawir Sjadzali menawarkan Ide-ide segar, yang menjembatani antara ketepan hukum Islam dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, dimana kebiasaan itu sulit untuk dihindari. Dengan bekal kemampuannya terhadap penguasaan kitab-kitab klasik, dan kecenderungannya terhadap tradisi pemikiran Islam klasik sebagai hasil dari pendidikan pesantren yang ditempuhnya di Mamba’ul Ulum Solo, Munawir juga memiliki minat yang tinggi untuk mengaktualisasikan pemikiran Islam klasik itu dengan perkembangan dunia modern. Sebab ia sangat akrab dengan wacana intelektual Barat khususnya Amerika dan Inggris. Kemampuan ini memperkayanya untuk melakukan analisis atas gejala historis dan menghadapkannya dengan ajaran Islam dan khazanah pemikiran Islam.
Kondisi umat Islam sekarang ini, menurut Munawir, sudah jauh tertinggal dari dunia Barat. Hal ini terjadi karena negara-negara Barat terus mencari perubahan dengan akal budi, yang merupakan pemberian Tuhan yang paling utama pada umat manusia. Sementara pengembangan intelektual pada dunia Islam boleh dikatakan sejak lama terhenti. Meskipun ungkapan pintu ijtihad telah tertutup sudah jarang terdengar, tetapi pemikir Islam sekarang tampaknya masih tetap belum berani untuk berpikir kritis. Akibatnya Islam yang dulu di tangan Nabi Muhammad saw. merupakan ajaran revolusioner, sekarang ini mewakili aliran terbelakang kalau tidak hendak dikatakan out of date.
c. Reaktualisasi Hukum Islam
Dalam bukunya Harun Nasution,(Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, “ Pembaharuan mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan upaya untuk memahami kembali sumber Islam dengan melepaskan diri dari pemahaman lama dengan maksud untuk merelevankan Islam dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern”. Maksud pembaharuan disini bukan ditujukan untuk mempertanyakan keabsahan sumber ajaran Islam, melainkan upaya mengubah pola pemikiran umat Islam agar tidak terikat secara kaku kepada pola pemahaman dan pemikiran masa lampau
Sebuah wacana yang ditawarkannya sewaktu menjabat Menteri Agama pada pertengahan dekade 1980-an yang dikenal sebagai gagasan reaktualisasi hukum Islam. Esensi Reaktualisasi menurut Munawir adalah kontekstualisasi ajaran Islam sendiri dan untuk mempertahankan ajaran Islam yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan dan muamalah. Menurut Munawir pemahaman yang secara harfiyah atau tekstual akan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist harus segera diakhiri. Sebaliknya harus menggunakan pendekatan yang konstektual atau bahkan situasional.
Maka dari itu, untuk menghindari akibat yang tidak di inginkan maka sebaiknya pembahasan dan pengkajian masalah-masalah hukum dilakukan secara kolektif antar mereka yang memahami betul ilmu hukum disertai ahli-ahli dalam ilmu yang terkait.
Reaktualisasi yang digagas beliau setelah melihat dan mendengar realitas masyarakat Islam Indonesia yang mengakui terhadap ajaran Islam yang telah ditentukan, namun di sisi lain, dalam kenyataannya mereka tidak mengamalkan ajaran itu sehingga timbul apa yang disebut oleh Munawir sebagai orang yang punya sikap ambiguitas mendua dalam beragama terutama dengan hukum Islam.
Terutama berkenaan dengan pembagian bunga bank dan waris. Pertama, sikap mendua terhadap bunga bank. Kebanyakan umat Islam berpendirian bahwa bunga bank (interest) adalah riba, dan oleh karenanya hukumnya haram. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan dalam kehidupan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank dengan sistem bunga dengan alasan darurat.
Melihat problema tersebut, Munawir berpendapat bahwa sistem bunga bank dalam bank itu tidak termasuk riba yang otomatis tidak haram. Ia memberikan dua alasan yaitu
1. Kita mengakui bahwa sistem bunga bank dalam bank itu pelaksanaannya tidak selalu baik dan dapat mencelakakan para nasabah yang meminjam uang dari bank. Tetapi jumlah nasabah yang merasa tertolong oleh sistem bunga yang diperlakukan oleh bank konvensional itu jauh lebih banyak dari pada mereka yang dirugikan. Maka dengan demikian, menurut Munawir, hukum bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.
2. Dalam kaidah fiqhiyah terdapat satu qaidah yang menyatakan “suatu hal yang pelaksanaan sesuatu yang wajib tidak akan sempurna tanpanya, itu juga menjadi wajib”. Pemikir politik seperti al-Ghazali berpendapat bahwa penyelenggaraan negara termasuk tata ekonominya itu hukumnya wajib. Dan sejauh ini, untuk bank, mutlak perlu dan bank konvensional yang memperlakukan sistem bunga ternyata merupakan lembaga keuangan yang paling andal dan teruji.

Kedua menyangkut pembagian harta warisan. Sebagaimana diketahui bahwa, samapai saat ini sistem kalkulasi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan, yang berlaku. Cara seperti ini didukung langsung oleh QS. an-Nisa’: 11 yang dengan jelas menyatakan bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
“Allah telah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Namun, bagi Munawir, konsep tersebut “tidak memberikan rasa adil” bagi masyarakat yang kaum perempuannya memiliki peran. Hal ini berdasarkan penelitian dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Ia selalu menerima laporan dari para hakim di berbagai daerah yang kuat keislamannya seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan ditemukan tindakan masyarakat yang menyimpang terhadap ketentuan al-Qur’an tentang pembagian 2:1.
Dalam praktek di masyarakat, para ahli waris tetap meminta fatwa tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan fara’id Islam yang didalamnya menetapkan kalkulasi bagian anak laki-laki dan anak perempuan 2:1 tapi dalam pelaksanaannya kerapkali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa ketetapan hakim Pengadilan Agama tersebut. Malah mereka melakukan pembagian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yaitu 1:1 antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Cara seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam saja tapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Dengan fenomena seperti ini gagasan segar beliau adalah pembagian waris itu dikodifikasi menjadi sama rata yaitu bagian anak laki-laki 1:1 dengan bagian anak perempuan dengan syarat anak perempuan memiliki peran. Hal ini diperkuat dengan menampilkan sejumlah ulama terkenal yang telah melakukan pemahaman secara kontekstual terhadap nash al-Qur’an. Tunjuk misal Khalifah Umar bin Khattab membuat kebijakan dalam pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an QS. al-Anfal: 41.
Kebijakannya itu ditentang oleh banyak sahabat senior Nabi seperti Bilal, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam, yang menuduhnya telah meninggalkan kitab Allah., namun dengan kebijakannya itu Umar mendapat dukungan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Umar juga tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf sebagaimana diamanatkan oleh QS. al-Taubah: 60 dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan alasan situasi dan kondisi sudah berubah dan pemberian zakat kepada mu’allaf sudah tidak dianggap perlu lagi.
Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz –khalifah ke delapan dari Dinasti Umayyah- dalam upayanya menciptakan pemerintahan yang bersih, ia melarang pejabat negara dan karyawan untuk menerima hadiah karena pada saat itu hadiah berubah fungsi menjadi suap, Abu Yusuf al-Hanafi mengatakan bahwa bila nash terdahulu dasarnya adat dan adat itu kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum atau petunjuk yang terkandung dalam nash itu, dan Ibnu Qoyyim al-Jauziah menjelaskan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman, tempat, dan adat istiadat
Selanjutnya penegasan nash al-Qur’an bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Pembagian ini didasarkan pada tradisi yang berlaku pada saat itu, bahwa status laki-laki dalam keluarga adalah pemimpin, pelindung, dan penanggungjawab perempuan, sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nisa’ (4): 34. Maka melihat realitas kehidupan zaman modern sekarang ini bahwa kaum perempuan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh perempuan Arab zaman dahulu. Sekarang banyak kaum perempuan yang menduduki pos-pos penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi sekarang sedang gencar-gencarnya kaum perempuan menuntut persamaan hak dan persamaan derajat dengan kaum laki-laki di segala bidang. Maka dengan menggunakan teori Abu Yusuf tersebut, bahwa kaum perempuan pada saat sekarang berbeda adat kebiasaannya dengan kaum perempuan pada saat ayat itu diturunkan, maka menurut Munawir sangat relevan sekali apabila bagian waris anak perempuan sekarang yang memiliki peran ditingkatkan agar sama dengan bagian waris anak laki-laki.
Munawir juga merujuk pada teori maslahahnya al-Thufi. Jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma’, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat. Pandangan ini bertitik tolak dari konsep maqasidut tasyri’ tujuan tasyri’ yang menegaskan bahwa hukum Islam itu disyari’atkan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia. Sehingga para ulama merumuskan sebuah kaidah yang cukup populer yang artinya “dimana ada kemaslahatan disanalah terdapat hukum Allah”. Sehingga Munawir berpendapat bahwa bila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris bagian anak laki-laki dengan bagian anak perempuan itu seimbang, dan mereka menganggap bahwa pembagian yang demikian itu adil, maka pembagian demikianlah yang dipakai. Hal yang demikian ini, sekali lagi, berlaku pada masyarakat yang nota bene kaum perempuannya memegang peranan seperti kaum perempuan di Solo Jawa Tengah.
Bukankah 2:1 itu Qoth’i? Terhadap pertanyaan seperti ini, Munawir menjelaskan bahwa dalam al-Qur’an terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif sebagai kebutuhan biologis kaum pria di samping isteri (QS. an-Nisa’:3, QS. al-Ma’arij: 30, QS. al-Mukminun: 6, dan al-Ahzab: 52). Memang, Nabi dulu selalu menghimbau pemilik budak untuk berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tapi yang jelas, menurutnya, sampai Nabi wafat dan wahyu terakhir yang turun, Islam belum secara tuntas menghapuskan perbudakan. Kita ini hidup di abad 21, dimana umat manusia sepakat mengutuk perbudakan di segala manifestasinya sebagai musuh kemanusiaan. Sedangkan Islam masih mempertahankan status quo terhadap perbudakan. Oleh karena itu alangkah naifnya Islam yang mengagung-agungkan hak asasi manusia untuk hidup bebas dan merdeka, disisi lain masih mempertahankan perbudakan. Jadi menurut Munawir, ayat-ayat tersebut tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang dan harus dipahami secara kontekstual. Ada yang mengatakan bahwa tidak dihapuskannya perbudakan secara tegas oleh Nabi karena ada kemungkinan reaksi masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, karena sekarang perbudakan tidak dibutuhkan lagi, maka ayat-ayat tersebut perlu dipahami secara kontekstual.
belaiu memberikan gagasan ini mendapat respon pro-kontra di kalangan para pakar hukum, khususnya pakar hukum Islam dan ulama. Gagasan tersebut bersamaan dengan diluncurkannya ”Proyek Kompilasi Hukum Islam” yang kemudian disahkan dengan Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 khususnya penyusunan buku mengenai Hukum Kewarisan.
Terkait gagasan reaktualisasi ajaran, khususnya hukum Islam, hal itu bukanlah gagasan baru yang dilontarkan beliau, pasalnya beliau sendiri mengaku bahwa gagasan tersebut sudah lama dikumandangkan oleh ulama besar dan hakim agung Abu Yusuf, murid kesayangan Imam Abu Hanifah di Baghdad yang menyatakan bahwa walau nash sekalipun kalau dulu dasarnya adat dan adat itu kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum/petunjuk yang terkandung dalam nash itu .
Ini juga beliau kuatkan dengan beberapa contoh pada masa Khulafa al-Rasyidin,dengan ungkapan “Bagi saya, dalam hal ajaran dan hukum Islam tentang ibadah murni kita cukup mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Sedangkan dalam hal ajaran dan hukum yang berkaitan dengan soal-soal kemasyarakatan (muamalah), saya menganut pendekatan kontekstual, dan tidak sepenuhnya tekstual.” Tak jarang Umar bin Khatab memutuskan persoalan berdasarkan ijtihadnya, sebut saja masalah pemberian zakat pada muallaf yang jelas-jelas hal itu menyalahi hukum yang berlaku.
Disamping itu kerangka dasar pemikiran reatualisasi Hukum Islam yang dikemukakan oleh munawwar sjadzali dilandasi dengan beberapa alasan yaitu:
1. Pintu ijtihad selalu terbuka.
2. Didalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat naskh.
3. Hukum islam bersifat dinamis dan elastis.
4. Kemaslahatan dan keadilan merupakan tujuan syari’at dan
5. Keadilan adalah dasar kemaslahatan. Dengan ada pandangan ini maka terlihat bahwa metode penafsiran dan penemuan hukum yang selama ini telah bejalan (konvensional) terasa anakronitik, sehingga satu tatanan metode baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah aktual menjadi sangat mendesak dan mutlak diperlukan.
Reaktualisasi, dalam pandangan beliau, adalah dalam rangka mencari jalan keluar yang lebih jujur terhadap agama dan lebih terhormat, yakni dengan mempelajari kemungkinan mengadakan modifikasi atau penyesuaian dalam pelaksanaan dari petunjuk Qurani itu, daripada tindakan mencari helah, sikap mendua, atau main-main dengan agama. Menanggapi adanya kekhawatiran bahwa kebebasan “berijtihad” terhadap hukum-hukum Islam dapat menjurus ke arah “anarki berpikir”, maka beliau memberikan solusi, “Untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan bersama itu, sebaiknya pembahasan dan pengkajian masalah- masalah hukum itu dilakukan secara kolektif antara mereka yang betul- betul tahu ilmu hukum disertai ahli-ahli dalam ilmu-ilmu yang
terkait.”
Dalam banyak kesempatan beliau menegaskan bahwa sebagai umat Islam, kita percaya bahwa Islam adalah suatu agama yang mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang sifatnya universal dan abadi, yang harus diyakini dan diamalkan oleh tiap muslim di mana pun ia berada dan kapan pun ia hidup. Tetapi dalam aplikasinya, lebih-lebih ajaran- ajaran yang berkaitan dengan kemasyarakatan, Islam memiliki kapasitas dan kelenturan untuk menampung perbedaan yang merupakan watak atau fitrah kehidupan umat manusia, dan mampu mengembang sejajar dengan perkembangan peradaban dan kemajuan.
d. Islam dan Negara Menurut Munawir Sjadzali.
Tak hanya tokoh agamawan yang melekat pada diri Munawir Sjadzali, namun dia juga merupakan sosok negarawan, yang pikiranya, tak kurang dari perhatianya terhadap hukum Islam. Hal ini juga didukung oleh latar belakang beliau, yang sudah lama mengenyam manis pahitnya dunia birokrasi.
Dikalang Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran besar yang menanggapi terkait hubungan ajaran Islam dan negara.
1. Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh aliran ini anatara lain, Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb dkk.
2. Islam adalah agama dalam pengertianb Barat, yaitu tidak ada hubunganya dengan urusan Negara. Menurut aliran ini Nbai Muhammad hanyalah seorang rasul sebagaimana rasul yang lain. Dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulai dengan menjungjung tinggi budi luhur, dan nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan dr. Thaha Husein
3. Islam adalah agama yang tidak mengatur system katatnegaraan tetapi terdapat seperangkat tat nilai etika kehidupan bernegara. Diantara tokohnya yang terkenal adalah Dr. Muhammad Husein Haikal
Melihat tiga aliran di atas disini penulis meletakan pemikiran Munawir Sjadzali, pada kelompok ketiga, yang memandang bahwa Islam tidak mengatur system ketata negaraan, namun dalam Islam terdapat aturan-aturan atau nilai-nilai bernegara. Ini kami telaah dari bukunya beliau (Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran; Baca) yang sama sekali tidak menjustisfikasi bahwa Islam mengatur akan system tata Negara, disatu sisi, ajaran Islam juga tidak melapaskan dari nilai-nilai kehidupan bernegara, ini dapat dijumpai pada kesimpulan yang dipaparkan di akhir buku tersebut.
Beliau memetakan ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis sebagaimana berikut. Al-Qur’an menjelaskan seperngakt prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mengajarkan prinsip-prinsip tauhid, permusyawaran dalam memecahkan masalah, ketaatan kepada pemimpin, persamaan, keadilan kebabasan beragama dan sikap saling menghormati dalam hubungan beragama. Selebihnya maupun al-Qur’an maupun hadis tidak mengajarkan system pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Ini juga kami kutip dari Buku beliau (Islam Dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran )
Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan beliau pada forum internasional ialah sewaktu kunjungan ke Universitas Leiden, Belanda, tahun 1988. Ia mendapat kehormatan untuk memberikan kuliah umum di aula utama universitas. Judul ceramahnya adalah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu bukan negara agama, tetapi bukan juga negara sekuler
Penegasan Munawir bahwa dalam Islam tidak ada aturan baku yang menjelaskan terkait system pemerintahan atau Negara. Ini juga diperkuat kajian secara doktrinal maupun secara historis. Pengkajian secara doktrinal mendorong untuk mengadakan penelitian ulang terhadap a1-Quran, sunnah Muhammad, piagam Madinnah. Pengkajian secara historis menggairahkan dia mencermati, system kenegaraan pada masa al-Khulafa al-Rasyidin maupun mencermati pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam terkenal seperti: Ibn Abi Rabi al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid ‘Ridla, Ali Abd al-Raziq, Abu al-Ala’ al-Mawdudi, Muhammad Husayn Haykel. Pengkajian secana doktrinal maupun historis membuahkan suatu pernyataan dari dalam diri Munawir yang menekankan bahwa tidak ditemukan suatu konsep baku apapun dalam Islam tentang system pemenintahan atau negara. Yang ditemukan oleh Munawir dalam hal sistem pemerintahan atau negara termasuk sistem pemindahan kekuasaan adalah keharusan untuk bermusyawarah sebagai prinsip utama keyakinan Islam.

III. Penutup
. Kesimpulan
Gagasan reaktualisasi yang muncul pada decade 1980-an, berangkat dari kegelisahan beliau melihat realitas yang ada. Sikap ambivalen masyarakat dan ambiguitas menjadi landasan pokok lahirnya gagasan ini. Sebut saja waris, ketentuan 2:1 yang juga dipertegas oleh salah satu penggalan ayat al-Qur’an. Namun disisi lain, banyak masyarakat enggan mengimplementasikan hal ini. Hal ini tidak hanya terjadi dikalangan masyarakata awam, diakalangan agamawan-pun juga sedemikian rupa. Mereka mencari jalan keluar dengan menghibahkan hartanya terlebih dahulu, kepada keturunanya. Setelah itu harta sisa dari pembagian hibbah tersebut yang dibagi sebagai harta warisan sebagaimana ketentuan faraid.
Dari ini gagasan penting beliau adalah warisan sama rata, atau 1:1. Hal ini beliau kuatkan dengan beberapa pendapat ulama dan dengan kerangka metodologis yang sistematis, misalnya, Umar sebagai salah satu Sahabat yang pendapatnya dinyatakan keluar deari ketentuan yang ada. Beliau juga mengutip dari qaidah yang lontarkan Ibnu Qoyyim al_jauziyah, yang mengatakan“berubahnya hukum karena berubahnya situasi kondisi”, dengan hal ini, beliau menganggap pembagian 2:1 ketika masa nabi sangat adil sekali, pasalnya sebelum Islam perempuan tidak mendapat apa-apa.
Sekarang masa sudah tidak seperti dulu, perempuan sudah mendapat akses yang sama, juga mempunyai peran, hal ini yang menyebabkan jika pembagian 2:1 sudah tidak relevan dan tidak adil.

DAFTAR PUSTAKA

Sjadzali, Munawir Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran” UI Press,
Jakarta 1990
“Islam Dan Tata Negara, Kita ini Kurang Berani,” Tempo, (20 Oktober, 1990), posting 14 Juni 2009
, Ijtihad Kemanusiaan’, Paramadina. Jakarta. 1997
Kontekstualisasi Ajaran Islam (Paramadina, Jakarta: 1995

Fuad, Mahsun Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara, 2005)
Darokah, Ali Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Panji Masyarakat 1987
Nasution, Harun “Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996)
Http ://:wikipedia.com
http://www.ghabo.com/gpedia/index.php/Munawir_Sjadzali”Posting 14 Juni 2009
http://www.pembaharuan pemikiran Islam.com. posting 14 Juni 2009
http://www.reaktualisasi hukum islam.com posting 14 Juni 2009
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=16. Posting 14 Juni 2009