7 Hal Penting


Kita terbiasa meletakkan niat untuk melakukan yang terbaik pada hari ini. Tetapi dalam kenyataannya, apa yang kita angan‑angankan acap kali tidak bisa diwujudkan. Maka, sesal dan kecewa pada diri sendiri pun terjadi, Perasaan seperti ini bagus, Itu pertanda bahwa kita bersungguh‑sungguh dalam niat.

Di bagian lain, ada manusia yang sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukan kebaikan sehingga tidak pernah tergambar hari ini mau melakukan apa. Dan karena demikian, dirinya tidak pernah menyesal meski dalam perjalanan hidupnya tidak banyak menyentuh hal‑hal yang diridhoi Allah. Justru sebaliknya, merasa tidak bersalah melakukan perbuatan dosa. Hatinya sudah terbiasa dengan semua itu. Baginya, perbuatan dosa adalah kebiasaan rutin yang jika tidak dilakukan merasa kehilangan teman, atau akan terkucil dari kelompoknya, Akhirnya, semakin lama semakin “dalam” pelanggaran yang dilakukan.

Bagi yang beriman kepada Allah berlaku sebaliknya. Setiap saat selalu memulai aktivitasnya dengan kesadaran bahwa ketika akan melakukan sesuatu “dihiasi” dengan niat mencari ridho Allah, Ketika akan tidur, bangun tidur, akan bekerja, berangkat sekolah, akan shalat, dan perbuatan lain selalu dilakukan penuh kesadaran bahwa semua itu untuk kecintaan Allah. Tidak hanya itu, setiap saat dia selalu “mencanangkan” untuk melaksanakan amal sholeh sehingga mendapat keutamaan dari niatnya itu. Bagaimana kalau kita tidak mampu melakukan niat kita yang baik? Jangan putus asa, lakukan altematif lain sebagai “penebus” atas kekhilafan dalam mewujudkan niat tadi.

Ada seorang sahabat Rasulullah Saw yang memberi nasehat kepada kita. Dia berkata: Siapa yang tidak sanggup mengerjakan tujuh hal, hendaknya lakukan tujuh macam untuk mencapai pahala dari tujuh hal yang tidak bisa dikerjakan tersebut.

1. Siapa yang ingin pahala shalat malam sedang ia ketiduran, jangan berbuat maksiat (dosa) pada siang harinya. Tentu, maksiat yang dimaksud di sini dalam arti luas, mulai dari maksiat mata, telinga, dan lisan, ada juga maksiat hati. Kita sadar, keutamaan shalat malam begitu besar. Allah berjanji akan mengangkat orang yang istiqomah shalat malam ke derajat mulia. Biasanya, orang yang shalat malam dilanjut dengan dzikir dan baca Qur’an secara tartil di malam hari. Kebiasaan itu dapat melahirkan ketenangan jiwa, tawadhu’ (rendah hati), dan perilakunya terkontrol karena merasa “diikat” oleh nila‑nilai shalatnya. Tetapi dalam kenyataan, kita sering lengah melakukan shalat malam. Mungkin karena capek, mengantuk, atau faktor lain, Untuk menghindari hal itu, ada alternatif lain yang bisa kita lakukan. Umar bin Khottob biasa setelah shalat Isya’ langsung disambung dengan shalat malam, Hal itu dilakukan untuk menghindari terjadinya kelengahan. Sedang Imam AI‑Gozali lain, kalau malam tidak sempat shalat malam, maka diganti pagi harinya.
Ini merupakan pekerjaan berat, bagi setiap kita perlu membiasakan diri agar menjadi pribadi bersih dan kaya akan nilai‑nilai kebenaran agama. Dan salah satu dari fungsi shalat adalah mencegah perbuatan keji dan munkar, sehingga dengan tidak melakukan perbuatan maksiat, berarti pesan yang ingin dicapai dari shalat malam sudah terpenuhi.

2. Siapa yang ingin mendapat pahala orang puasa sunah padahal dia tidak puasa, maka hendaknya menjaga lidahnya. Puasa wajib atau sunah memiliki arti menahan diri. Yaitu menahan untuk tidak melakukan dosa dari seluruh tubuh kita. Salah satunya adalah menahan diri dari berkata‑kata yang tidak benar: gibah, buka aib, ngrasani orang, berbohong, sumpah palsu, ingkar janji, dan seterusnya. Orang puasa terbiasa untuk tidak mengeluarkan ucapan yang penuh dengan kebohongan dan dosa. Setiap kata yang akan dikeluarkan dari lisannya terlebih dahulu “dikunyah” sarnpai lembut setelah itu baru dikeluarkan sehingga tidak kasar jika masuk ke telinga orang lain. Setiap kata yang hendak diucapkan ditimbang dulu sehingga tidak terasa berat sebelah di hati orang. Kata‑kata hendaknya dirasakan dulu sebelum dikeluarkan sehingga kalau terasa tidak enak di lidah, diludahkan di tempat yang tepat, Kita hati‑hati dengan lisan. “Salamatul insan fii hifdzil lisan”. Artinya, keselamatan manusia terletak pada kemampuannya mengendalikan lisannya, Rasulullah bersabda, “Amuslimu man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi” Artinya, yang disebut orang muslim adalah mereka yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Lisan yang penuh kedamaian, lisan yang sarat nasehat, lisan yang kaya kata bermakna, dimiliki oleh orang yang rajin berpuasa. Maka, kalau kita tidak puasa sunnah, hendaknya menjaga lisannya siang hari sebagai penebus atas puasa sunnah yang tidak bisa dilakukan.

3. Siapa yang ingin kelebihan para ulama, maka hendaklah suka berpikir. Berpikir itu akan melahirkan kecerdasan dan pemahaman, Berpikirlah secara bebas, jangan takut salah, “Tafakkaru fii kulli syaiin wala tafakkaru fii dzatillah” Artinya, Berpikirlah tentang segala sesuatu dan jangan berfikir tentang zat Allah. Jadi, yang tidak boleh dipikir hanyalah zat Allah. Sebab sehebat apapun otak manusia, tidak akan mampu berfikir tentang zat Allah SWT. Jadi, agama memberi kebebasan otak kita untuk “menembus” alam semesta ini dengan berpikir keras. Orang yang membiasakan berpikir segala sesuatu di sana akan menemukan Allah. Betapa tidak, melihat keindahan alam, pantai, gunung, dan sebagainya hatinya akan kagum dan lebih kagum lagi kepada penciptanya. Orang yang ingin menemukan Allah hendaknya membiasakan diri dengan berpikir yang lebih jauh lagi. Coba lihat diri sendiri, di sana ada kekuasaan Allah yang maha dahsyat. Betapa tidak, Allah menciptakan kita sedemikan sempurna. Dari kebiasaan berpikir itulah akan sampai kepada satu kata :”Allahu akbar.”

4. Siapa yang ingin pahala orang berjihad, sedang dia duduk di rumahnya, maka hendaklah berjihad melawan syetan. Dalam Islam, jihad mendapat tempat istimewa, Kalau mereka ditakdirkan meninggal dalam peperangan, maka mati syahid dan tidak ada balasan lain kecuali surga. Maka ketika zaman Rasulullah jihad selalu disambut gegap gempita. Tetapi, kalau kita sekarang tidak kuasa melakukan jihad seperti di jaman Rasulullah yang jamannya sudah berubah ini, alternatifnya adalah kita melakukan jihad melawan syetan. Jihad seperti ini menurut Rasulullah termasuk jihad besar, karena melawan syetan pada setiap diri sifatnya permanen, berat, dan selalu berubah‑ubah. Maka, kita jangan anggap enteng orang yang “memerangi” nafsunya sebab perjuangan ini mernbutuhkan energi yang sangat banyak dan terus menerus.

5. Siapa yang ingin mendapat pahala sedekah, padahal ia tidak dapat, maka hendaknya mengajarkan kepada orang lain apa yang telah dia dengar dari ilmu.

6. Siapa yang ingin mendapat pahala haji sedang ia tidak kuasa maka hendaklah melazimi sembahyang Jum’at.

7. Siapa yang ingin mencapai fadhilah orang ahli ibadat, maka hendaklah memperbaiki persengketaan orang dan jangan menimbulkan persengketaan di antara mereka.

Leave a comment